banner

AI Membodohkan atau Mencerdaskan? Jawaban Ahli Mengejutkan 

Jumat, 3 Oktober 2025 13:29 WIB
Oleh: Diaz
IMG-20251003-WA0007

AI Membodohkan atau Mencerdaskan? Jawaban Ahli Mengejutkan

RATASTV – Perdebatan mengenai kecerdasan buatan (AI) terus mengemuka. Sebagian menganggap AI sebagai penyelamat yang mampu mempercepat kerja manusia, sebagian lagi menilainya sebagai ancaman yang membuat manusia malas berpikir. Lalu, mana yang benar?

Untuk menjawab hal tersebut, redaksi RATASTV berbincang dengan Tras Rustamaji, MSc—ahli IT dan matematika lulusan University of Manchester Institute of Science and Technology (UMIST), Inggris. Ia dikenal sebagai tokoh pendidikan teknologi dan mantan pimpinan Madrasah Techno Natura Depok, sekolah berbasis riset dan robotika.

Dalam percakapan lewat telepon, Tras menegaskan: AI hanyalah alat. Bukan musuh, bukan pula penyelamat mutlak.

AI: Asisten, Bukan Pengganti Pikiran Manusia

“Banyak yang menganggap AI itu semacam otak baru yang bisa menggantikan manusia. Padahal AI tidak punya kesadaran, tidak punya intuisi, apalagi kreativitas orisinal,” kata Tras.

Menurutnya, AI hanya menyusun jawaban berdasarkan pola data. Ia bekerja seperti cermin—memantulkan apa yang paling sering muncul, bukan kebenaran absolut. Karena itu, peran manusia sebagai penafsir tetap tak tergantikan.

“AI mempercepat proses. Tapi keputusan dan kreativitas tetap harus datang dari manusia,” tegasnya.

Risiko Kemalasan Berpikir

Walau begitu, Tras mengakui potensi bahaya penggunaan AI secara berlebihan.

“Kalau semua serba tanya AI—bikin artikel, desain, bahkan berpikir pun dilimpahkan ke mesin—manusia akan kehilangan daya kritis. Itu kebodohan baru,” ujarnya.

Ia menyoroti fenomena pelajar yang memakai AI untuk mengerjakan tugas tanpa mengecek ulang.

“Hasilnya mungkin selesai cepat, tapi logikanya tumpul. Padahal pendidikan itu bukan soal jawaban, tapi proses berpikir.”

AI Sebagai Sparring Partner Belajar

Namun Tras percaya AI bisa sangat mencerdaskan bila digunakan dengan benar.

“Kalau siswa bertanya ke AI lalu membandingkan jawabannya dengan buku atau berdiskusi dengan guru, itu luar biasa. AI jadi lawan sparring untuk mengasah logika,” jelasnya.

Hal yang sama berlaku di dunia kerja: AI boleh melakukan riset atau analisis cepat, asalkan verifikasi tetap dilakukan manusia.

Bukan AI yang Berbahaya, Tapi Manusia yang Salah Menggunakan

Menanggapi kekhawatiran AI menggantikan pekerjaan, Tras menyatakan fenomena ini bukan hal baru dalam sejarah teknologi. “Setiap inovasi memang menggusur pekerjaan lama, tapi selalu melahirkan pekerjaan baru,” katanya.

Baginya, yang paling berbahaya bukan AI itu sendiri, melainkan manusia yang tidak mau beradaptasi—baik yang menolak AI mentah-mentah, maupun yang menyerahkan seluruh kontrol padanya.

Pendidikan dan Regulasi: Dua Kunci Masa Depan AI

Tras menekankan dua hal penting agar AI tidak disalahgunakan:

Regulasi yang jelas, untuk mencegah penyebaran hoaks, manipulasi politik, dan penyalahgunaan data.

Literasi digital masyarakat, agar AI dipahami sebagai alat bantu, bukan otoritas kebenaran.

Kesimpulannya?

“AI tidak punya ambisi menguasai dunia. Yang berbahaya itu manusia yang salah menggunakannya,” pungkas Tras.

AI adalah pedang bermata dua: ia bisa membodohkan jika membuat manusia berhenti berpikir, tapi juga bisa mencerdaskan jika dipakai sebagai asisten kritis.

Pada akhirnya, seperti kata Tras Rustamaji, “AI hanyalah alat. Manusialah yang menentukan arah hasilnya.”

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung