Revolusi Berawal dari Pati
RATASTV – Dari sebuah kota di pesisir utara Jawa Tengah, Pati, kita mendapat pelajaran politik yang tajam ketika kebijakan yang dirasa memberatkan rakyat bertemu dengan komunikasi publik yang keliru, hasilnya bisa meledak menjadi gelombang protes besar.
Peristiwa ini tidak hanya tentang pajak, melainkan tentang harga diri dan kepercayaan yang retak. Awal Mula Kemarahan Kisah ini bermula dari kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati yang melonjak hingga 250%. Angka itu bukan sekadar hitungan persentase di atas kertas. Bagi para petani, pedagang, dan warga desa, itu berarti tambahan beban di tengah harga kebutuhan pokok yang sudah tinggi.
Di banyak daerah, kebijakan seperti ini biasanya disosialisasikan dengan hati-hati melalui pertemuan warga, penjelasan manfaat, dan skema keringanan bagi yang kurang mampu. Namun, di Pati, yang terjadi justru sebaliknya. Saat warga mempertanyakan kenaikan pajak ini, Bupati Sudewo mengeluarkan pernyataan yang kemudian viral: “Silakan demo.”
Kalimat itu menjadi pemicu utama. Bagi rakyat, itu terdengar bukan sebagai ajakan berdialog, melainkan tantangan terbuka. Dari situlah, bara kecil berubah menjadi api besar.
Pati Memanas Hari aksi pun tiba. Ribuan warga tumpah ruah di Alun-Alun Pati. Mereka datang membawa spanduk, toa, dan kemarahan. Dari berbagai kecamatan, massa berkumpul, menyerukan penolakan terhadap kenaikan PBB. Namun, yang mereka sampaikan tidak lagi semata-mata soal pajak ini soal penghormatan terhadap rakyat.
Suasana memanas ketika orasi diwarnai teriakan dan lemparan botol air mineral. Sandal melayang ke udara, dan aparat mulai menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Bau pedas memenuhi udara, memaksa orang mundur. Namun, momen itu justru semakin menguatkan kesan bahwa hubungan rakyat dan pemerintah daerah telah pecah.
Sejarah Kemarahan Rakyat di Indonesia Apa yang terjadi di Pati bukan hal baru di Indonesia. Sejarah kita dipenuhi momen ketika rakyat bangkit karena merasa dirugikan atau diremehkan.
1926: Pemberontakan rakyat di Banten dan Sumatera Barat melawan pajak kolonial yang
mencekik, dipicu oleh penderitaan ekonomi.
1945: Setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat di berbagai daerah melakukan perlawanan bersenjata karena tidak mau lagi tunduk pada kekuasaan asing.
1998: Reformasi tumbuh dari kemarahan rakyat terhadap krisis ekonomi, korupsi, dan pemerintahan yang menutup telinga terhadap aspirasi masyarakat.
2019: Gelombang mahasiswa dan pelajar turun ke jalan memprotes revisi UU KPK dan RKUHP, membuktikan bahwa kemarahan rakyat bisa lahir dari isu kebijakan, bukan hanya ekonomi.
Pola yang terlihat jelas: kemarahan besar sering kali bukan hanya soal kebijakan yang dianggap merugikan, tetapi juga tentang komunikasi yang buruk dan kesan arogansi dari pemegang kekuasaan.
Pati dan Revolusi Kesadaran Demo di Pati mungkin tidak menjatuhkan rezim nasional, tapi ia menciptakan sesuatu yang tak kalah penting: revolusi kesadaran. Rakyat tahu bahwa mereka bisa memobilisasi diri, memaksa isu lokal masuk ke pemberitaan nasional, dan membuat DPRD membentuk panitia khusus untuk mengoreksi kebijakan.
Di era media sosial, kejadian ini juga menyebar lebih cepat. Video ucapan “Silakan demo”, kerumunan massa, dan tembakan gas air mata menjadi viral, membuat narasi “Pati melawan” terdengar hingga ke luar daerah. Pelajaran Penting Ada tiga hal yang bisa dipetik dari Pati.
Kebijakan yang memberatkan harus disertai dialog. Angka besar tanpa penjelasan yang masuk akal hanya akan dianggap ancaman oleh rakyat.
Komunikasi publik adalah senjata bermata dua. Satu kalimat yang salah tempat bisa memicu kemarahan berlapis.
Rakyat punya daya guncang. Bahkan di kota kecil sekalipun, ketika rakyat merasa harga diri mereka diinjak, mereka bisa menciptakan “revolusi” lokal yang dampaknya meluas.
Penutup Pati hari ini bukan hanya sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Ia adalah simbol bahwa kemarahan rakyat bisa lahir dari percikan kecil, lalu membesar menjadi gelombang perubahan.
Sejarah mengajarkan kita bahwa setiap revolusi, besar atau kecil, selalu dimulai dari satu titik
ketidakpuasan.
Dari Pati, kita diingatkan: kekuasaan bisa dibangun dengan kebijakan, tetapi hanya bisa bertahan dengan kepercayaan. Dan sekali kepercayaan itu hilang, yang tersisa hanyalah jalanan penuh massa, bau gas air mata, dan sejarah baru yang sedang ditulis.
Oleh: Aulia Halsa S.H