banner

One Piece, Simbol Perlawanan dan Negara yang Terluka: Tafsir Pop Culture dalam Lintasan Islam dan Sejarah

Kamis, 7 Agustus 2025 12:06 WIB
Oleh: Diaz
IMG_20250807_115906

One Piece, Simbol Perlawanan dan Negara yang Terluka: Tafsir Pop Culture dalam Lintasan Islam dan Sejarah

RATASTV, – Di tengah gemuruh dunia maya dan hiruk-pikuk narasi pop culture, bendera tengkorak bajak laut dari serial One Piece kembali memantik diskursus. Apakah ia sekadar fiksi, ataukah simbol perlawanan yang menggugah kesadaran sosial-politik generasi muda Indonesia?

Bagi kami di PMII Rayon Laksamana Malahayati, fenomena ini tidak berhenti pada wacana hiburan belaka. Ia menyimpan tanda-tanda zaman yang perlu dibaca dengan kacamata keislaman, sejarah kekuasaan, dan problem kebangsaan kontemporer.

Simbol Bukan Sekadar Simbol

Dalam semesta One Piece, bendera bajak laut adalah lambang perlawanan terhadap sistem yang korup dan penuh penindasan. Luffy dan krunya bukan perompak biasa. Mereka menentang ketidakadilan yang dipelihara oleh struktur kekuasaan global: World Government.

Narasi ini simbolik dari kegelisahan kolektif di negeri kita. Di tengah tingginya korupsi, ketimpangan sosial, dan lemahnya supremasi hukum, simbol-simbol perlawanan – bahkan yang berasal dari dunia fiksi – menjadi saluran katarsis publik. Namun, sebagai santri dan intelektual muda Aswaja, kita wajib membaca dengan jernih: kapan simbol menjadi penggugah kesadaran, dan kapan ia berubah menjadi pelarian dari realitas?

Perspektif Islam: Antara Simpati dan Peringatan

Islam tidak menolak simbol perlawanan, selama ia berada dalam bingkai maqāṣid al-sharī‘ah: keadilan, kemaslahatan, dan kebenaran. Al-Qur’an sendiri sarat dengan kisah perlawanan terhadap kezaliman: Musa melawan Fir‘aun, Ibrahim melawan Namrud.

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…” (QS. Al-Hadid: 25)

Namun, Islam tidak memberi ruang bagi anarki. Bendera bajak laut bisa menjadi semangat simbolik, tetapi tak boleh menjadi standar nilai apalagi ideologi alternatif yang menafikan hukum, adab, dan tatanan sosial Islam.

Aswaja dan Tafsir Simbol

Dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja), simbol tidak bisa dilepaskan dari etika, sanad pemahaman, dan maslahat. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa semangat perjuangan harus dibingkai oleh ilmu, akhlak, dan tuntunan yang benar.

Simbol perlawanan memang menarik, namun Aswaja mengajarkan bahwa perubahan harus melalui adab. Bahkan Sayyidina Husain pun dalam tragedi Karbala tidak menanggalkan akhlaknya dalam menghadapi kezaliman.

Kilas Sejarah: Simbol dalam Dinasti dan Kekuasaan

Di masa transisi dari Khulafaur Rasyidin ke Dinasti Muawiyah, simbol kekuasaan mengalami distorsi. Dari substansi menjadi formalitas. Perlawanan dari Ibn Zubair hingga kelompok Khawarij sering menggunakan simbol, tetapi tidak semua dibenarkan oleh para sahabat.

Ali bin Abi Thalib pernah menegur pihak yang membawa simbol kebenaran tetapi menggunakan metode yang keliru. Maka dari itu, menjadikan bendera bajak laut sebagai simbol gerakan politik tanpa akhlak, adalah langkah yang rawan menyesatkan.

Negara Hari Ini: Simbolisme dan Luka Kolektif

Kita hidup di tengah negara yang rapuh oleh politik simbol. Penegakan hukum dipolitisasi, oligarki menguat, dan kepercayaan publik menipis. Di sinilah simbol seperti bendera bajak laut muncul sebagai bentuk ‘balas dendam naratif’ rakyat kepada negara yang tak lagi memberi harapan.

Namun, perjuangan sejati tidak membutuhkan simbol fiktif. Ia membutuhkan keberanian moral, akal sehat, dan akhlak perjuangan sebagaimana yang diajarkan para Nabi dan Ulama Salaf. Keadilan tidak ditegakkan dengan membajak nalar.

Penutup: Tafsir Kritis, Bukan Taklid Emosional

PMII Rayon Laksamana Malahayati menegaskan pentingnya menafsirkan fenomena ini secara kritis, bukan menirunya secara emosional. Di era dominasi simbol dan budaya pop, kecermatan intelektual adalah benteng akidah.

Kita boleh mengagumi Luffy, tapi perlu diingat: Luffy bukan Nabi, bukan Imam, bukan Mujtahid. Ia hanya karakter fiksi.

Sedangkan kita, pewaris tradisi Islam, mesti melangkah dengan ilmu dan adab. Karena seperti kata Imam Syafi’i:

“Siapa yang menginginkan dunia, hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan akhirat, hendaklah ia berilmu. Dan siapa yang menginginkan keduanya, hendaklah ia berilmu.”

Oleh : Sahabat Muhammad Afif Irvandi El Tahiry (Ketua PMII Rayon Laksamana Malahayati Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh)

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung