banner

Guncang Kabinet Pasca Demo, Jalan Menuju Otoritarianisme Berkedok Stabilitas

Minggu, 21 September 2025 21:51 WIB
Oleh: Diaz
bG9jYWw6Ly8vcHVibGlzaGVycy82OTQwMi8yMDIxMDcyMjIyMzgtbWFpbi5jcm9wcGVkXzE2MjY5NjgzMTAuanBlZw

Guncang Kabinet Pasca Demo, Jalan Menuju Otoritarianisme Berkedok Stabilitas

RATASTV – Gelombang demonstrasi besar yang menghantam ibu kota, menuntut perubahan nyata dari pemerintah, dijawab dengan sebuah langkah yang menggegerkan reshuffle kabinet radikal. Presiden mengambil alih kendali penuh, menyingkirkan menteri-menteri lama dan menggantinya dengan kader-kader loyal dari Partai Gerindra.

Langkah ini, yang diklaim sebagai upaya untuk mempercepat program kerja dan merespons tuntutan rakyat, justru memicu kekhawatiran yang jauh lebih dalam. Kekuatan Gerindra kini merasuk hingga ke jantung pemerintahan, sebuah fenomena yang menimbulkan pertanyaan krusial tentang masa depan demokrasi di Indonesia.

Apakah langkah ini benar-benar membawa stabilitas, ataukah ini adalah awal dari konsolidasi kekuasaan yang berpotensi menyeret kita kembali ke era di mana oposisi dan kritik adalah barang langka?

Dominasi posisi menteri dan wakil menteri oleh Partai Gerindra ini berisiko besar melumpuhkan mekanisme checks and balances yang selama ini menjadi pondasi demokrasi kita. Jika menteri dan anggota parlemen berasal dari partai yang sama, bagaimana mungkin mereka bisa saling mengawasi secara efektif? Studi sejarah dan data dari lembaga riset politik menunjukkan, ketika kekuasaan terkonsentrasi, transparansi dan akuntabilitas cenderung menurun, membuka celah bagi praktik-praktik yang tidak sehat.

Perubahan drastis ini juga membawa risiko sentralisasi kebijakan. Keputusan-keputusan penting akan lebih banyak dipengaruhi oleh agenda tunggal partai, tanpa pertimbangan yang matang dari sudut pandang yang lebih luas. Program-program unggulan Gerindra, seperti makan bergizi gratis, akan mendapatkan alokasi anggaran dan sumber daya yang sangat besar.

Meskipun terdengar populis, pendekatan ini berpotensi mengabaikan kebutuhan sektor lain yang tidak kalah penting, seperti pendidikan atau kesehatan. Lebih jauh lagi, konsolidasi kekuasaan ini bisa membungkam suara-suara kritis dari masyarakat sipil dan media. Ketika pemerintah didominasi oleh satu kekuatan politik, ruang untuk disrupsi dan kritik yang sehat akan semakin sempit.

Indonesia di ambang jalan yang sangat berbahaya, di mana stabilitas semu yang dijanjikan bisa jadi adalah awal dari keterbatasan berpendapat dan hilangnya keberagaman dalam pemerintahan. Pergantian sejumlah menteri dari pos-pos strategis dengan figur-figur baru yang mayoritas berasal dari Gerindra, secara terang-terangan menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan yang signifikan.

Langkah ini, meskipun dianggap sebagai upaya untuk mempercepat implementasi program-program pemerintah, menyimpan risiko besar yang harus dicermati. Dominasi satu partai dalam kabinet, meskipun terjadi dalam konteks koalisi, bukanlah hal yang sehat bagi sebuah sistem demokrasi. Argumentasi ini didukung oleh berbagai data dan fakta historis, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.

Dalam sistem presidensial, mekanisme checks and balances antara eksekutif dan legislatif menjadi pilar utama demokrasi. Parlemen berfungsi sebagai pengawas kekuasaan eksekutif. Namun, ketika mayoritas menteri dan petinggi eksekutif berasal dari satu partai yang juga memiliki kekuatan besar di parlemen, fungsi pengawasan ini cenderung melemah.

Menurut data dari lembaga riset politik, dalam beberapa dekade terakhir, interpelasi atau hak angket terhadap kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh DPR cenderung menurun jika partai penguasa memiliki dominasi kuat. Laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa aspek kebebasan sipil dan partisipasi politik mengalami stagnasi. Konsentrasi kekuasaan di tangan satu partai dapat mempercepat penurunan ini, karena ruang untuk kritik dan disrupsi politik yang sehat menjadi sempit.

Reshuffle yang menempatkan menteri-menteri dari Gerindra di pos-pos strategis juga berpotensi mengarah pada sentralisasi kebijakan. Artinya, keputusan-keputusan penting, terutama yang berkaitan dengan ekonomi dan sosial, akan lebih banyak dipengaruhi oleh agenda dan ideologi tunggal Gerindra. Hal ini berisiko mengabaikan perspektif dan kepentingan dari partai-partai koalisi lain, yang mungkin memiliki basis massa dan pandangan berbeda.

Walaupun niatnya baik, pendekatan ini dapat mengorbankan program-program lain yang tidak kalah penting, seperti pembangunan infrastruktur atau peningkatan kualitas pendidikan. Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, alokasi anggaran untuk program prioritas akan menyentuh angka triliunan rupiah. Tanpa adanya keragaman perspektif dalam kabinet, pengambilan keputusan yang terburu-buru bisa menimbulkan ketidaksesuaian prioritas dan alokasi anggaran yang tidak efisien, yang pada akhirnya dapat merugikan perekonomian negara.

Dominasi partai tunggal juga dapat mengikis transparansi dan akuntabilitas. Ketika pejabat tinggi negara didominasi oleh kader dari satu partai, proses pengambilan keputusan cenderung menjadi kurang terbuka bagi publik dan media massa. Informasi yang disampaikan ke publik bisa jadi bersifat one-sided dan cenderung menguntungkan partai yang berkuasa.

Menurut survei Transparency International, negara-negara dengan tingkat dominasi politik tinggi sering kali memiliki skor indeks persepsi korupsi yang rendah. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan independen dan kontrol publik terhadap penggunaan kekuasaan. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) sering kali menyoroti kurangnya transparansi dalam proyek-proyek pemerintah. Ketika menteri-menteri memiliki afiliasi politik yang kuat dan seragam, risiko terjadinya kolusi dan praktik korupsi tersembunyi dapat meningkat.

Data historis dari era Reformasi menunjukkan bahwa praktik korupsi cenderung menurun ketika ada keseimbangan kekuasaan dan pengawasan yang ketat dari lembaga-lembaga independen dan publik. Dominasi yang berlebihan, alih-alih menciptakan stabilitas, justru bisa memicu ketidakpuasan dan konflik internal di dalam koalisi.

Partai-partai lain yang merasa suaranya tidak didengar dan posisinya terpinggirkan, mungkin akan menarik dukungan atau bahkan beralih menjadi oposisi. Hal ini bisa menciptakan ketidakstabilan politik yang justru lebih buruk dari situasi sebelumnya. Stabilitas politik yang dibangun di atas konsolidasi kekuasaan yang tidak seimbang adalah stabilitas yang rapuh dan semu.

Keseimbangan politik yang sesungguhnya berasal dari kolaborasi, dialog, dan kemampuan untuk mengakomodasi perbedaan. Presiden harus menyadari bahwa kekuatan suatu pemerintahan tidak terletak pada dominasi satu partai, melainkan pada kemampuannya untuk merangkul semua elemen bangsa.

Langkah radikal yang diambil Presiden dengan merombak kabinet pasca-demo adalah sebuah pertaruhan besar. Di satu sisi, langkah ini mungkin akan menciptakan pemerintahan yang lebih solid dan efektif dalam mengambil keputusan. Namun, di sisi lain, dominasi Gerindra yang nyata dan berlebihan dapat menjadi bumerang yang berbahaya.

Meskipun reshuffle kabinet adalah hak prerogatif Presiden, dominasi Gerindra di dalam susunan kabinet yang baru harus disikapi dengan kritis. Bahaya yang mengintai bukanlah sekadar isu perebutan jabatan, melainkan bahaya struktural terhadap fondasi demokrasi Indonesia. Hilangnya checks and balances, sentralisasi kebijakan, dan erosi transparansi adalah risiko nyata yang harus segera diantisipasi.

Masyarakat sipil, media, dan partai-partai politik lain harus bersatu untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak terkonsentrasi di satu titik, demi masa depan demokrasi yang lebih sehat dan inklusif. Hanya dengan keseimbangan dan pengawasan yang ketat, pemerintahan baru dapat benar-benar memenuhi janji-janjinya kepada rakyat.

Oleh : Danu Abian Latif
Penulis Buku Opini Nakal untuk Indonesia

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung