banner

Satgas PHK dan DKBN Dinilai Gagal Sentuh Akar Masalah: 9 Kritik Tajam LBH Sarbumusi

Jumat, 20 Juni 2025 06:18 WIB
Oleh: Hadits
WhatsApp Image 2025-06-20 at 10.41.56

RATASTV – Lembaga Bantuan Hukum Serikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi) menyatakan keprihatinan atas meningkatnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai sektor—dari manufaktur, tekstil, hingga startup—yang berdampak luas tidak hanya pada pekerja formal, tetapi juga sektor nonformal.

Data Kementerian Ketenagakerjaan (Mei 2025) menunjukkan jumlah PHK mencapai 26.455 kasus, dengan Jawa Tengah sebagai provinsi tertinggi. Sementara itu, Apindo mencatat 73.992 kasus PHK per Maret 2025 dan memproyeksikan jumlahnya bisa menembus 250.000 kasus sepanjang tahun. Kenaikan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pun menandai situasi darurat: hingga April 2025, tercatat 52.850 klaim.

Bank Indonesia telah memberi peringatan bahwa tren ini berpotensi menjadi “rem darurat” bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Respons Pemerintah Dinilai Populis dan Tidak Solutif

Alih-alih melakukan reformasi sistemik, pemerintah merespons dengan membentuk Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN). LBH Sarbumusi menilai langkah ini reaktif dan populis, serta jauh dari akar persoalan sebenarnya.

Berikut 9 catatan kritis LBH Sarbumusi terhadap kebijakan tersebut:

1. Sindrom “Satganisasi” Pemerintah

Pembentukan Satgas mencerminkan respons instan yang mencerminkan ketidakpercayaan pada birokrasi ketenagakerjaan yang sudah ada, padahal Kemenaker memiliki struktur hingga tingkat daerah.

2. Tumpang Tindih Kelembagaan

DKBN dan Satgas PHK beririsan dengan LKS Tripartit, Dewan Pengupahan, dan Komite Jaminan Sosial. Alih-alih memperkuat lembaga yang sudah ada, pemerintah justru menciptakan duplikasi fungsi dan potensi pemborosan anggaran.

3. Tidak Menjawab Akar Masalah

Krisis PHK tidak hanya soal koordinasi, tetapi akibat kebijakan fleksibilisasi pasca-Omnibus Law, kontrak tanpa batas, dan lemahnya jaminan sosial. DKBN dan Satgas tidak menyentuh masalah mendasar ini.

4. Menambah Birokrasi, Bukan Solusi

Satgas dan DKBN justru memperpanjang jalur birokrasi dan membingungkan pelaku hubungan industrial yang sebelumnya cukup berinteraksi dengan pengawas atau mediator ketenagakerjaan.

5. Lemahkan Tanggung Jawab Negara

Kesejahteraan buruh dilimpahkan ke forum ad hoc, bukan diperkuat melalui struktur negara yang sah. Ini bisa menjauhkan pekerja dari akses keadilan.

6. Solusi Tambal Sulam

Tanpa reformasi struktural di sistem upah, jaminan sosial, dan pengawasan, pembentukan lembaga baru hanya akan menjadi simbol kosmetik tanpa dampak nyata.

7. Mengabaikan Aspek Psikososial

Tidak ada pendekatan terhadap trauma atau tekanan mental yang dialami korban PHK, yang berisiko memicu persoalan sosial baru.

8. Potensi Kegagalan Lembaga Ad Hoc

Satgas dan DKBN berisiko masuk daftar panjang lembaga reaktif yang tidak akuntabel dan gagal menjalankan mandat.

9. Rentan Dipolitisasi, Melemahkan Gerakan Buruh

Tanpa partisipasi yang terbuka dan transparan, dua entitas ini rawan menjadi alat legitimasi politik, bukan sarana perjuangan buruh.

Desakan: Reformasi Nyata, Bukan Lembaga Baru

Fenomena ini mengindikasikan lemahnya kesiapan negara menghadapi krisis ketenagakerjaan, sekaligus menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan amanat Pasal 27 (2), 28D (2), dan 28H (1) UUD 1945.

LBH Sarbumusi mendesak pemerintah untuk:

  • Mengevaluasi pembentukan Satgas PHK dan DKBN
  • Memperkuat struktur dan fungsi Kemenaker
  • Melakukan reformasi mendalam pada sistem pengupahan dan jaminan sosial
  • Menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran kebijakan ketenagakerjaan

Tanpa keberanian politik untuk berpihak pada pekerja dan melakukan reformasi ketenagakerjaan yang berkeadilan, krisis PHK akan terus menjadi ancaman laten bagi stabilitas ekonomi dan sosial nasional. (HDS)

 

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung