RATASTV – Lembaga Bantuan Hukum Serikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi) menyatakan keprihatinan atas meningkatnya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai sektor—dari manufaktur, tekstil, hingga startup—yang berdampak luas tidak hanya pada pekerja formal, tetapi juga sektor nonformal.
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Mei 2025) menunjukkan jumlah PHK mencapai 26.455 kasus, dengan Jawa Tengah sebagai provinsi tertinggi. Sementara itu, Apindo mencatat 73.992 kasus PHK per Maret 2025 dan memproyeksikan jumlahnya bisa menembus 250.000 kasus sepanjang tahun. Kenaikan klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pun menandai situasi darurat: hingga April 2025, tercatat 52.850 klaim.
Bank Indonesia telah memberi peringatan bahwa tren ini berpotensi menjadi “rem darurat” bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Alih-alih melakukan reformasi sistemik, pemerintah merespons dengan membentuk Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN). LBH Sarbumusi menilai langkah ini reaktif dan populis, serta jauh dari akar persoalan sebenarnya.
Berikut 9 catatan kritis LBH Sarbumusi terhadap kebijakan tersebut:
1. Sindrom “Satganisasi” Pemerintah
Pembentukan Satgas mencerminkan respons instan yang mencerminkan ketidakpercayaan pada birokrasi ketenagakerjaan yang sudah ada, padahal Kemenaker memiliki struktur hingga tingkat daerah.
2. Tumpang Tindih Kelembagaan
DKBN dan Satgas PHK beririsan dengan LKS Tripartit, Dewan Pengupahan, dan Komite Jaminan Sosial. Alih-alih memperkuat lembaga yang sudah ada, pemerintah justru menciptakan duplikasi fungsi dan potensi pemborosan anggaran.
3. Tidak Menjawab Akar Masalah
Krisis PHK tidak hanya soal koordinasi, tetapi akibat kebijakan fleksibilisasi pasca-Omnibus Law, kontrak tanpa batas, dan lemahnya jaminan sosial. DKBN dan Satgas tidak menyentuh masalah mendasar ini.
4. Menambah Birokrasi, Bukan Solusi
Satgas dan DKBN justru memperpanjang jalur birokrasi dan membingungkan pelaku hubungan industrial yang sebelumnya cukup berinteraksi dengan pengawas atau mediator ketenagakerjaan.
5. Lemahkan Tanggung Jawab Negara
Kesejahteraan buruh dilimpahkan ke forum ad hoc, bukan diperkuat melalui struktur negara yang sah. Ini bisa menjauhkan pekerja dari akses keadilan.
6. Solusi Tambal Sulam
Tanpa reformasi struktural di sistem upah, jaminan sosial, dan pengawasan, pembentukan lembaga baru hanya akan menjadi simbol kosmetik tanpa dampak nyata.
7. Mengabaikan Aspek Psikososial
Tidak ada pendekatan terhadap trauma atau tekanan mental yang dialami korban PHK, yang berisiko memicu persoalan sosial baru.
8. Potensi Kegagalan Lembaga Ad Hoc
Satgas dan DKBN berisiko masuk daftar panjang lembaga reaktif yang tidak akuntabel dan gagal menjalankan mandat.
9. Rentan Dipolitisasi, Melemahkan Gerakan Buruh
Tanpa partisipasi yang terbuka dan transparan, dua entitas ini rawan menjadi alat legitimasi politik, bukan sarana perjuangan buruh.
Fenomena ini mengindikasikan lemahnya kesiapan negara menghadapi krisis ketenagakerjaan, sekaligus menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan amanat Pasal 27 (2), 28D (2), dan 28H (1) UUD 1945.
LBH Sarbumusi mendesak pemerintah untuk:
Tanpa keberanian politik untuk berpihak pada pekerja dan melakukan reformasi ketenagakerjaan yang berkeadilan, krisis PHK akan terus menjadi ancaman laten bagi stabilitas ekonomi dan sosial nasional. (HDS)