RATASTV – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, mengapresiasi langkah tegas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang menghapus tantiem, bonus, dan insentif bagi komisaris BUMN dan anak perusahaannya melalui kebijakan yang diumumkan oleh Danantara pada 30 Juli 2025.
“Kebijakan ini sangat bagus karena selama ini posisi komisaris BUMN sudah terlalu mewah. Ada komisaris yang menerima sampai Rp4 miliar per bulan, bandingkan dengan gaji Presiden yang hanya Rp69 juta dan Menteri sekitar Rp20 juta per bulan,” tegas Said Didu melalui akun media sosialnya.
Ia menilai, besarnya penghasilan tersebut telah menjadikan kursi komisaris BUMN sebagai incaran sejumlah pihak yang dekat dengan kekuasaan, meski tidak memiliki rekam jejak kinerja yang jelas.
“Terima kasih Pak Prabowo dan Danantara yang sudah mengoreksi salah satu kesalahan pengelolaan BUMN,” ujar Said Didu.
Di sisi lain, keputusan penghapusan tantiem tersebut memicu penolakan dari sebagian pihak. Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE), Denny JA, diketahui melayangkan protes secara terbuka melalui siaran pers yang disebarkan ke sejumlah media nasional.
Sikap Denny ini langsung menuai kecaman, salah satunya dari Aktivis 98, Ricardus Silalahi. Ia menilai pernyataan Denny sebagai bentuk pembangkangan terhadap arahan Presiden Prabowo dan mencerminkan ketidakpekaan terhadap kondisi sosial masyarakat.
“Rakyat sedang berharap efisiensi dan transparansi di BUMN. Tapi Denny JA justru tampil sebagai simbol kemewahan yang tidak peka. Kami, Aktivis 98, menilai sudah saatnya ia dicopot,” kata Ricardus, Ahad (3/8/2025).
Sebagai informasi, tantiem adalah pembagian keuntungan perusahaan kepada jajaran direksi dan komisaris sebagai bentuk apresiasi atas kinerja. Namun, praktik ini kerap menuai kontroversi lantaran jumlahnya bisa mencapai miliaran rupiah, sementara sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kesulitan ekonomi.
Kebijakan penghapusan tantiem merupakan bagian dari arahan Presiden Prabowo dalam rangka efisiensi dan penghematan anggaran di tubuh BUMN. Kementerian BUMN telah menerjemahkannya ke dalam regulasi resmi yang mulai berlaku sejak pertengahan 2025. Langkah ini mendapatkan dukungan luas, terutama dari kalangan pekerja, buruh, dan aktivis anti-korupsi.
Namun, Denny JA menilai kebijakan ini kontraproduktif. Dalam pernyataannya, ia menyebut penghapusan tantiem akan merusak motivasi komisaris profesional dan membuat mereka menjauh dari BUMN. Pendapat ini justru memicu kemarahan publik.
“Ini bukan soal profesional menjauh. Ini soal mengembalikan BUMN ke khitahnya, yaitu melayani rakyat, bukan jadi ladang basah para komisaris. Kalau tidak sepakat, silakan mundur, atau Presiden sebaiknya mencopotnya,” tegas Ricardus.
PT Pertamina Hulu Energi, tempat Denny JA menjabat sebagai Komisaris Utama, merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero) yang memegang peran strategis dalam eksplorasi dan produksi migas nasional. Karena itu, kursi komisaris di perusahaan ini dianggap sangat sensitif terhadap arah kebijakan pemerintah.
Meski hingga kini belum ada pernyataan resmi dari Kementerian BUMN terkait desakan pencopotan Denny JA, tekanan publik dan kelompok masyarakat sipil, termasuk dari Aktivis 98, terus meningkat.
“Kami akan terus mengawal kebijakan pro-rakyat Presiden Prabowo. Jangan sampai ada pejabat yang justru menjadi duri dalam daging,” tutup Ricardus.
Denny JA sendiri belum memberikan tanggapan resmi atas desakan tersebut. (HDS)