RATASTV – Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada tahun 2019—2023 yang ditangani KPK memasuki babak baru.
Terkini, lembaga antirasuah tersebut mengabarkan bahwa telah menetapkan delapan tersangka. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga membuka identitas masing-masing tersangka ke publik.
Plh Direktur Penyidikan KPK Budi Sukmo Wibowo menjelaskan bahwa kedelapan orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut masing-masing berinisial SH, HYT, WP, DA, GW, PCW, JS, dan AE.
Menurut Budi, SH adalah Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja. GW merupakan Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK Kemenaker.
Sementara inisial HYT merupakan Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang kemudian menjabat sebagai Dirjen Binapenta dan PKK Kemenaker.
Sedangkan inisial WP selaku Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dan DA merupakan Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kemenaker.
“Tiga orang yang menjadi satu sprindik (surat perintah penyidikan) saja, yaitu saudara PCW, JS, dan AE. Semuanya adalah staf di Direktorat Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing,” kata Budi di Jakarta, Kamis (5/6).
Peras TKA saat Urus Izin Kerja
Budi menjelaskan bahwa delapan tersangka dalam kasus dugaan pemerasan tersebut memeras TKA saat mengurus izin bekerja di Indonesia, berupa dokumen hasil penilaian kelayakan, dan pengesahan RPTKA.
Budi menambahkan bahwa mekanisme yang seharusnya dijalani oleh para TKA adalah melakukan pengajuan secara daring, kemudian verifikasi data, wawancara, hingga penerbitan dokumen.
Bila data-data tersebut tidak lengkap, maka Kemenaker akan memberitahukan kepada agen yang mengurus izin bekerja TKA agar melengkapi kekurangannya, tetapi hal tersebut dimanfaatkan oleh para tersangka.
“Bagi para agen yang mengurus TKA dan telah menyerahkan sejumlah uang karena memang sudah mengetahui bahwa untuk mengurus itu sudah diminta, maka pemberitahuannya tidak secara online, tetapi diberikan secara pribadi melalui WhatsApp kepada para pengurus atau agen, sehingga mereka pun akan segera melengkapi,” jelasnya.
Namun, bagi yang tidak menyerahkan sejumlah uang, dia mengatakan bahwa para tersangka tidak akan memberitahu proses pengajuan izin bekerja tersebut. Akibatnya, para TKA akan dikenakan denda karena telat mengurus izin bekerja.
“Dendanya cukup lumayan ya per hari hitungannya, seperti kalau kapal telat untuk berlayar, berlabuh, akan didenda per hari, dan hal ini lah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum dari Kemenaker tadi untuk melakukan pemerasan atau permintaan sejumlah uang kepada para agen-agen yang melakukan pengurusan terhadap RPTKA,” katanya.
Budi mengatakan bahwa para TKA akhirnya memberikan uang kepada para tersangka dibandingkan mengeluarkan denda sebesar Rp 1 juta per harinya.
“Mau tidak mau harus memberikan. Kalau tidak, ya mereka akan mendapatkan denda lebih besar daripada uang yang harus dikeluarkan untuk mengurus izin dari RPTKA tersebut,” jelasnya.
Respons Kemenaker
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan, kasus tersebut telah terjadi sebelum dirinya menjadi Menaker, tepatnya pada tahun 2019–2023.
Namun demikian, dia menegaskan siap bekerja sama dengan KPK apabila ada proses lanjutan setelah penetapan tersangka kasus pemerasan TKA.
“Harus bekerja sama,” ucap Yassierli di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Kamis.
Menurut Yassierli, sejak awal kasus tersebut menuai sorotan Kementerian Ketenagakerjaan sudah bekerja sama dengan KPK.