RATASTV – Kewenangan polisi dalam menggunakan teknik investigasi undercover buying atau control delivery sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinilai menyimpang dari tujuan awalnya.
Alih-alih membongkar sindikat peredaran narkoba, praktik ini justru diduga menjadi ajang penjebakan, bukan hanya terhadap pengguna, tetapi juga sesama anggota kepolisian.
Salah satu kasus mencuat menimpa Brigpol Fathurrahman, anggota Reserse Narkoba Polda Kalimantan Tengah. Melalui kuasa hukumnya, Rusdi Agus Susanto, S.H., ia mengklaim menjadi korban penjebakan sesama anggota reserse hingga berujung pada pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari institusi kepolisian.
“Kami mengapresiasi Divisi Propam Mabes Polri, khususnya Propam Polda Kalteng, yang telah memberi atensi serius terhadap dugaan penjebakan ini dan mulai menyidik sejumlah oknum di Direktorat Reserse Narkoba Polda Kalteng,” kata Rusdi dalam keterangan tertulis, Senin (21/7/2025).
Dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar Propam Polda Kalteng, dua anggota yang diduga terlibat berinisial Brigpol TW dan Kompol AS telah diperiksa. Informasi dari kliennya menyebutkan bahwa Kompol AS berdalih aksi penjebakan dilakukan berdasarkan UU Narkotika.
Namun, Rusdi menegaskan, “Klien kami saat itu sedang menjalankan tugas sebagai anggota Reserse Narkoba. Jika Kompol AS menggunakan dalih penjebakan berdasarkan UU Narkotika, itu justru bertentangan dengan semangat dan ketentuan hukum yang berlaku.”
Menurut Rusdi, sidang etik diharapkan dapat membuka “kotak pandora” di balik peristiwa ini. Ia menyebut bahwa kasus ini bukan hanya soal individu, tetapi menyangkut kredibilitas institusi Polri.
“Ini bukan sekadar mematikan karier Brigpol Fathurrahman, tapi juga mencederai upaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam memperbaiki citra Korps Bhayangkara. Publik menaruh perhatian besar. Karena itu, sidang etik ini harus jadi pintu masuk untuk membongkar kebenaran secara objektif,” ujarnya.
Rusdi berharap Propam Polda Kalteng memberikan sanksi tegas terhadap oknum yang terbukti terlibat. Menurutnya, kasus ini bisa menjadi momentum perbaikan internal Polri.
Sebagai informasi, UU Narkotika mengatur teknik investigasi seperti undercover buying (pembelian terselubung) dan control delivery (penyerahan di bawah pengawasan) untuk membongkar sindikat narkotika. Namun, pelaksanaannya harus melalui perintah tertulis pimpinan, dengan dilengkapi pola, aktor, metode, dan jaringan yang telah teridentifikasi.
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Girlie Ginting, UU Narkotika tidak secara eksplisit mengatur bagaimana dua kewenangan tersebut dijalankan dalam konteks hukum acara pidana. Akibatnya, terbuka peluang terjadinya praktik penjebakan dan rekayasa kasus oleh aparat penegak hukum.
ICJR mencatat setidaknya tiga indikasi terjadinya penjebakan oleh polisi:
“Kalau ada satu pihak yang menyerahkan narkoba ke korban penjebakan tapi tidak diproses hukum, itu sinyal kuat bahwa ada rekayasa,” ujar Girlie.
Kasus Brigpol Fathurrahman membuka ruang evaluasi menyeluruh atas praktik teknik investigasi yang selama ini digunakan dalam penanganan kejahatan narkotika, terutama agar tidak menyimpang dan merusak integritas aparat penegak hukum itu sendiri. (HDS)