banner

Artis Leony Ogah Bayar Pajak Waris di Tangsel, Pengamat Ungkap Warga harus Ikuti UU HKPD  

Kamis, 2 Oktober 2025 20:24 WIB
Oleh: Agus Supriyanto
leony-uwgB_large

RATAS – Artis Leony Vitria Hartanti sempat membuat heboh publik gara-gara postingannya di media sosial mengenai pajak waris. Mantan penyanyi cilik yang tergabung dalam “Trio Kwek Kwek” itu membagikan pengalamannya mengurus balik nama rumah peninggalan ayahnya.

Ayah Leony: Andy Hartanto meninggal pada 15 Juni 2021 di Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Provinsi Banten. Curhatan Leony terkait pengalamannya mengurus balik nama rumah peninggalan ayahnya tersebut diunggah melalui akun Instagram pribadinya pada 8 September 2025.

Proses balik nama warisan dari ayahnya tersebut pun masuk kategori warisan. Sehingga, dirinya harus membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 2,5 persen dari nilai rumah.

Itu merupakan aturan yang sudah baku. Tetapi, menurut Leony, hal tersebut sangat memberatkan.

“Ternyata, kita kena pajak waris. Jadi, itu 2,5 persen dari nilai rumahnya. Gue harus ngeluarin duit puluhan juta lagi cuma buat balik nama doang. I just feel it’s not fair,” keluh Leony dikutip pada Rabu 1 Oktober 2025.

Pengamat Beri Penjelasan Logis dan Lengkap

Menyikapi hal itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah memberikan penjelasan logis dan lengkap. Kata Trubus, Leony Vitria harus tetap mengikuti mekanisme dan prosedur dalam mengurus proses balik nama rumah warisan dan membayarkan BPHTB.

“Sebagai warga, kalau ada yang merasa keberatan atas pelayanan, seharusnya bisa mengadu ke bagian Ombudsman di Pemkot Tangsel,” ucap Trubus dalam keterangan tertulisnya, kepada Redaksi Kantor Berita RATASTV.CO, Kamis, 02 Oktober 2025.

Nah, menanggapi keluhan mantan penyanyi cilik tersebut, pihak Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel) tidak tinggal diam. Pemkot Tangsel mengaku akan memfasilitasi upaya pengurangannya ke pihak Dirjen Pajak.

Trubus menilai bahwa langkah yang dilakukan Pemkot Tangsel dalam konteks pelayanan publik sudah menunjukkan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). “Artinya, tata kelola yang baik, yang di situ, masyarakat itu didampingi, difasilitasi untuk minta keringanan pajak karena ada warganya yang merasa keberatan dengan penghitungan pajak,” jelasnya.

Dalam situasi ini, Trubus menyebut fungsi pemkot dan pemda yaitu dalam memberikan perlindungan kepada warganya telah dijalankan. “Jadi, apa yang dilakukan Pemkot Tangsel dapat menjadi contoh dalam melakukan advokasi, pendampingan sekaligus keberpihakan kepada warganya,” paparnya.

Harus Ikuti UU HKPD

Sementara itu, ahli hukum pajak Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Adrianto Dwi Nugroho menjelaskan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten atau kota. BPHTB dikenakan terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, misalnya karena jual beli, hibah, warisan dan lain sebagainya.

Tarif BPHTB sudah diatur dalam Undang-undang, Nomor 1, Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). “Artinya, tarif BPHTB yang ditentukan dalam suatu peraturan daerah kabupaten/kota, tarifnya sudah diatur pada Undang-undang, Nomor 1, Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD),” terang Adrianto.

Menurutnya, penerapan BPHTB atas perolehan karena warisan diatur berdasarkan peraturan daerah di masing-masing kabupaten/kota pemerintah. Tetapi, ia menyebut, DPRD kabupaten/kota dapat mengecualikan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.

“Misalnya, karena adanya kebijakan tertentu dari pemerintah tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 6, Ayat (2), UU HKPD,” paparnya.

Besaran BPHTB terutang, jelas dia, dihitung dengan menggunakan self assessment system oleh wajib pajak. Yakni, dengan cara mengalikan tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi dengan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTКР).

Adrianto menjelaskan bahwa penghitungan tersebut nantinya akan melalui proses validasi oleh pejabat badan pendapatan daerah kabupaten/kota. Proses itu pun menjadi satu kesatuan dalam proses peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat pembuat akta tanah dan kantor pertanahan.

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 95, Ayat (2), UU HKPD, ia menyebut, ketika ada wajib pajak merasa keberatan karena mengalami kesulitan finansial, maka pemerintah daerah dimungkinkan untuk memberikan pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan pajak. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 102, Peraturan Pemerintah, Nomor 35, Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP KUPD) juga mengatur bahwa kepala daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak dan/atau obyek Pajak Pengaturan lebih lanjut.

Termasuk, petunjuk teknis dan pelaksanaan kedua pasal tersebut diatur pada peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota. “Istilah keberatan pajak memiliki makna sendiri sebagai upaya hukum dalam hal wajib pajak tidak menyetujui hasil penghitungan pajak oleh fiskus. Ketentuan mengenai keberatan pajak daerah diatur pada UU HKPD, PP KUPD, dan peraturan daerah kabupaten/kota serta peraturan bupati/walikota,” terang dia.

Terkait dengan BPHTB di setiap daerah, presentasenya tidak sama. Adrianto menjelaskan bahwa hal itu karena di UU HKPD hanya mengatur tarif maksimum pajak-pajak daerah yang dapat dikenakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Khusus BPHTB, sambung dia, Pasal 47, Ayat (1), UU HKPD mengatur bahwa “Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Tarif yang real dikenakan di tiap-tiap kabupaten/kota akan diatur dengan Peraturan Daerah (Pasal 47, Aat (2), UU HKPD)”.

“Selain itu, pemerintah kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk menentukan besaran NPOPTKP di wilayahnya,” cetusnya.

Ia menyebut bahwa pada Pasal 46, Ayat (5) dan Ayat (6) UU HKPD hanya mengatur NPOPTKP paling rendah yang dapat dihitung dalam menghitung besaran BPHTB terutang. “Berbeda dengan tarif BPHTB, semakin besar NPOPTKP, semakin kecil BPHTB terutang,” pungkas Adrianto. (AGS)

 

 

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung