RATASTV.CO – Jika dalam menegakkan hukum terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan wajib diutamakan
Menjelang berlakunya KUHP Nasional yang tinggal menghitung bulan, hakim diharapkan untuk cepat dan cermat memahami berbagai ketentuan yang ada di dalamnya. Pedoman pemidanaan Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP Nasional sudah sering disajikan melalui seminar nasional oleh para begawan hukum.
Dalam mengadili suatu perkara pidana, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Jika dalam menegakkan hukum terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan wajib diutamakan. Selain itu, ada 11 (sebelas) poin yang wajib dipertimbangkan dalam pemidanaan, salah satunya motif dan tujuan melakukan tindak pidana serta pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban.
Penulis menyoroti salah satu kejahatan serius terhadap anak yang sering dijumpai dalam persidangan, yaitu tindak pidana pencabulan terhadap anak, khususnya bila pelaku merupakan orang tua si anak. Dalam penjelasan KUHP Nasional, hal ini disebut sebagai tindak pidana inses.
Sebelumnya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2016. Namun kini, berdasarkan KUHP Nasional, Pasal 82 UU Perlindungan Anak telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 622 KUHP Nasional ayat (1) huruf n. Hal yang sama juga berlaku untuk Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang mengatur tindak persetubuhan, dicabut melalui Pasal 622 KUHP Nasional ayat (1) huruf n.
Komparasi KUHP Nasional dan UU Perlindungan Anak
Ada anomali pidana yang dapat dilihat antara tindak pidana percabulan dan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua di dalam KUHP Nasional.
Kini, tindak pidana percabulan oleh orang tua terhadap anak kandung, tiri, atau angkat tidak lagi dilekatkan pidana minimum khusus, denda, dan ketentuan pemberat. Bahkan, pidana maksimum turun dibandingkan Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Sebelumnya ancaman minimum 5 (lima) tahun, kini tidak ada ancaman minimum; sedangkan ancaman maksimum yang semula 15 (lima belas) tahun kini menjadi 12 (dua belas) tahun (bridging articles Pasal 82 UU Perlindungan Anak, lihat Pasal 418 KUHP Nasional).
Hal ini berbeda dengan tindak pidana persetubuhan oleh orang tua, yang masih dilekatkan pidana minimum khusus dan ketentuan pemberat. Meski begitu, pidana minimum khusus juga turun dibandingkan Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan Anak. Sebelumnya ancaman minimum 5 (lima) tahun, kini menjadi 3 (tiga) tahun, sementara pidana maksimum tetap sama yaitu 15 (lima belas) tahun, dengan ketentuan pemberat yang masih berlaku ditambah 1/3 (lihat Pasal 473 ayat (4) dan (9) KUHP Nasional).
Derajat pidana antara persetubuhan dan percabulan yang sebelumnya tidak dibedakan, kini justru memiliki perbedaan derajat pidana di dalam KUHP Nasional.
Pertanyaannya, mengapa terjadi anomali antara skema ancaman pidana dengan landasan filosofis Pasal 418 KUHP Nasional? Pasal tersebut menyebutkan bahwa tindak pidana percabulan terhadap anak atau individu di bawah pengawasan atau pengasuhan, khususnya dalam konteks keluarga atau otoritas, merupakan kejahatan serius.
Hukuman penjara dikenakan bagi setiap orang yang melakukan percabulan terhadap anak kandung, tiri, angkat, atau anak yang diasuh atau dididik. Ayat ini jelas bertujuan melindungi anak dari kekerasan seksual dalam lingkup keluarga (Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional, hal. 432, Depok: Rajawali Pers, 2025).
Alasan Perlunya Pidana Minimum Khusus dan Ketentuan Pemberat
Belum ditemukan alasan mengapa landasan filosofis Pasal 418 KUHP Nasional menyebut inses sebagai kejahatan serius, tetapi ketentuan pidananya justru tidak dilekatkan pidana minimum khusus, menghilangkan pidana denda, serta menghapus ketentuan pemberat.
Jika hanya mendasarkan pada kepastian hukum dengan membaca unsur delik, tentu pidana 1 (satu) hari bisa diterapkan. Namun, apakah adil rasanya?
Pasal 418 KUHP Nasional sejatinya merupakan bridging articles dari Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Namun ketentuan pidananya kini tidak selaras dengan landasan filosofis yang sejalan dengan Pasal 34 Convention on the Rights of the Child (KHA), yang menegaskan setiap anak berhak dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual.
Demikian pula Pasal 13 ayat (2) UU Perlindungan Anak, yang menyebutkan bahwa orang tua yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak akan dikenai pemberatan hukuman. Penjelasan Umum atas UU Nomor 35 Tahun 2014 (perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002) juga menegaskan perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak, demi memberikan efek jera sekaligus memulihkan kondisi fisik, psikis, dan sosial anak korban.
Dari beberapa kasus yang pernah Penulis tangani di PN Balige kurun waktu 2020–2025, terlihat bahwa salah satu pengaruh tindak pidana inses adalah tekanan besar pada anak korban. Mereka kerap menghadapi intimidasi dari keluarga sendiri. Selain alasan ekonomi—karena pelaku biasanya pencari nafkah—kasus inses juga sering dianggap aib keluarga sehingga enggan diselesaikan melalui jalur hukum.
Bagi korban anak, rasanya naif jika harus mempergunakan lembaga restitusi untuk menuntut ganti rugi terhadap orang tuanya sendiri. Selain pidana penjara, instrumen yang layak digunakan bagi pelaku inses adalah gugatan pencabutan status kekuasaan orang tua atas anak, yang kini sudah mulai lazim digunakan melalui institusi kejaksaan.
Kesimpulan
Penulis berpendapat ada dua langkah yang dapat ditempuh. Pertama, perlu segera dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 418 KUHP Nasional, agar semangat pidana yang diterapkan sama dengan Pasal 473 ayat (4) dan (9) KUHP Nasional, yakni tetap memberlakukan pidana minimum khusus, denda, dan ketentuan pemberat.
Kedua, sebelum adanya hasil judicial review, setidaknya persepsi dalam membaca ketentuan pidana Pasal 418 KUHP Nasional dipahami sama dengan Pasal 473 KUHP Nasional. Sebab, Pasal 418 pada dasarnya merupakan bridging articles dari Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Meski Pasal 82 telah dicabut, nilai dan asasnya masih hidup dan belum dihapus.
Anak sebagai tunas bangsa, generasi muda, dan penerus cita-cita perjuangan memiliki sifat khusus yang wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi. Oleh karena itu, keadilan harus dimaknai sebagai legalitas: adil jika suatu aturan diterapkan pada semua kasus serupa, dan tidak adil bila aturan hanya diterapkan pada sebagian kasus (Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, hal. 21, Jakarta: Konstitusi Press, 2024).
Daftar Pustaka
Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso, Anotasi KUHP Nasional (Depok: Rajawali Pers, 2025).
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2024).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun 2016.
Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child.
Penulis: Sandro Imanuel Sijabat/Hms MA