banner

Negara Lawan Mafia Beras: Perang Terbuka demi Keadilan Pangan

Senin, 28 Juli 2025 14:25 WIB
Oleh: Diaz
20250720_Kegiatan-pengecekan-stok-beras-di-Bulog-Pati_1

Negara Lawan Mafia Beras: Perang Terbuka demi Keadilan Pangan

RATASTV — Pukul lima pagi, di sebuah dapur kecil kawasan Sukamajaya, Depok, Alia Kurnia Dewi tertegun. Nasi yang ia tanak berbau anyir, keras, dan menggumpal. Padahal, ia membeli beras bermerek premium dari supermarket langganan. Kemasan rapi. Harga mahal. Tapi isinya mengecewakan. Ia merasa tertipu—bukan hanya sebagai konsumen, tapi sebagai ibu yang ingin menyajikan yang terbaik untuk keluarganya.

Apa yang dialami Alia hanyalah puncak gunung es dari praktik sistemik yang sudah berlangsung lama: mafia beras. Sindikat ini menyusup dalam rantai distribusi pangan nasional, dari penggilingan, pemilik merek, distributor, hingga oknum aparat.

Pada akhir Juni 2025, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkap fakta mencengangkan: 212 dari 268 merek beras yang beredar di pasaran terbukti tidak sesuai ketentuan mutu, berat, dan harga eceran tertinggi (HET). Investigasi nasional yang digelar bersama Satgas Pangan, Kejaksaan, dan Badan Pangan Nasional menemukan praktik curang masif yang merugikan rakyat.

“Temuan ini menunjukkan 85,56 persen beras premium tidak sesuai standar. Ini bukan lagi pelanggaran biasa, tapi kejahatan terorganisir,” tegas Amran.

Lebih mencengangkan lagi, saat produksi beras nasional meningkat dan cadangan melimpah, harga justru tetap tinggi. FAO memproyeksikan produksi Indonesia tahun 2025/2026 mencapai 35,6 juta ton, melebihi target nasional 32 juta ton. Namun di pasar, harga tetap naik. “Ini anomali. Produksi naik, tapi harga tak turun. Indikasinya jelas: ada permainan,” tambah Amran.

Kerugian Skandal Beras Oplosan Capai Rp99 Triliun

Dalam kasus beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan), pemerintah menemukan bahwa produk subsidi negara tersebut dikemas ulang dan dijual sebagai beras premium dengan harga lebih mahal. Potensi kerugian konsumen akibat manipulasi ini mencapai Rp99 triliun per tahun.

“Ini tidak bisa ditoleransi. Kami telah menyerahkan seluruh data kepada Kapolri dan Jaksa Agung. Negara tidak boleh kalah dengan mafia pangan,” kata Amran dalam pernyataannya.

Pemerintah memberikan tenggat dua minggu bagi semua pelaku usaha untuk menyesuaikan mutu, harga, dan isi produk. Jika melanggar, ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp2 miliar siap diberlakukan.

Hasil investigasi menunjukkan bahwa praktik oplosan melibatkan pencampuran beras medium dengan sedikit beras premium. Produk lalu dikemas ulang dengan label baru dan harga tinggi. Dalam beberapa kasus, kemasan 5 kg hanya berisi 4,5 kg.

Distribusinya merata—dari supermarket di Jakarta hingga pasar tradisional di Kalimantan. “Ini kejahatan sistematis. Terorganisir. Berlangsung lama,” tegas Amran.

Pedagang pasar pun ikut jadi korban. Sekjen APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia), Mujiburohman, menyatakan banyak pedagang tidak tahu bahwa beras yang mereka jual sudah dioplos oleh distributor.

“Ketika konsumen kecewa, pedagang pasar disalahkan. Padahal kami juga tertipu,” ujarnya. APPSI pun mendukung penuh langkah tegas Kementan dalam membongkar praktik mafia beras dan meminta pengawasan lebih ketat atas rantai distribusi.

Langkah Tegas Penegak Hukum

Sekretaris Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Andi Herman, menyatakan bahwa pelaku oplosan telah melanggar regulasi mutu, distribusi, dan perlindungan konsumen. Karena produk ini bersubsidi, kerugian tidak hanya dialami rakyat, tapi juga negara.

“Ini praktik markup dan penipuan publik. Penindakan tegas perlu dilakukan untuk menciptakan efek jera dan memperbaiki tata niaga pangan nasional,” tegasnya.

Satgas Pangan Polri pun siap turun ke lapangan. Brigjen Helfi Assegaf menyatakan bahwa praktik pengemasan dan pelabelan menyesatkan bisa dijerat dengan UU Perlindungan Konsumen. Jika masih ditemukan pelanggaran setelah 10 Juli 2025, aparat akan melakukan penindakan hukum.

Pemerintah menegaskan pentingnya registrasi produk beras. Sesuai SNI 6128:2020, beras premium harus memiliki kadar air maksimal 14 persen dan butir patah maksimal 14,5 persen. Kementan mendorong penerapan registrasi berbasis data, digitalisasi rantai pasok, serta pembentukan pusat pengolahan beras modern (Rice Processing Center).

Tak hanya penindakan, negara juga menyiapkan e-Monitoring, blacklist distributor nakal, serta pembenahan lembaga pangan seperti BULOG. Semua langkah ini akan sia-sia tanpa komitmen politik dan keberanian menolak intervensi.

Mafia beras bukan hanya soal uang. Ini adalah soal kedaulatan pangan. Tentang siapa yang mengatur meja makan rakyat. Ini tentang apakah negara benar-benar berdiri di pihak rakyat atau membiarkan kepentingan gelap menguasai bahan pokok kehidupan.

Kini, pemerintah membuka babak baru dalam perang melawan mafia pangan. Di tengah kompleksitas jaringan gelap, harapan tetap menyala—di tangan petani yang jujur, konsumen yang cerdas, dan pemimpin yang tak gentar melawan mafia.

“Kalau terus dibiarkan, dampaknya tidak hanya pada harga. Tapi juga pada kepercayaan publik terhadap negara. Mafia pangan harus dilawan, sampai ke akar-akarnya,” kata Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman.

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung