banner

Kontroversi Pelat BL: Ketika Politik Identitas Menyerempet Kebijakan Publik di Sumatera Utara

Selasa, 7 Oktober 2025 11:15 WIB
Oleh: Diaz
Pemprov-Sumut-Karifikasi-Soal-Bobby-Razia-Plat-Kendaraan-Aceh-di-Langkat-Demi-Tingkatkan-PAD

Kontroversi Pelat BL: Ketika Politik Identitas Menyerempet Kebijakan Publik di Sumatera Utara

RATASTV – Kebijakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution kembali menuai kontroversi. Setelah sebelumnya mengklaim pengelolaan empat pulau di perbatasan Aceh–Sumut, kali ini ia melarang kendaraan berpelat BL (Aceh) melintas di wilayah Sumatera Utara.

Langkah yang diumumkan secara mendadak itu sontak memicu ketegangan emosional dan politik antara dua daerah yang memiliki sejarah hubungan sensitif tersebut.

Di Aceh, kebijakan ini segera menjadi perbincangan hangat. Sejumlah tokoh lokal menilai langkah Bobby tidak hanya keliru secara administratif, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketegangan horizontal.

“Ini bukan sekadar aturan lalu lintas. Larangan ini menyentuh identitas dan harga diri masyarakat Aceh,” ujar seorang akademisi di Banda Aceh yang enggan disebut namanya.

Kritik kian deras karena kebijakan tersebut muncul di tengah masih banyaknya persoalan mendasar di Sumut—mulai dari kemiskinan, ketimpangan layanan publik, hingga infrastruktur yang belum merata.

Alih-alih fokus pada solusi substansial, energi politik justru dihabiskan untuk kebijakan yang dinilai tidak menyentuh akar persoalan masyarakat.

Mantan Wali Kota Medan Akhyar Nasution menilai arah pembangunan di era Bobby cenderung seremonial.

“Banyak proyek infrastruktur tidak memberi dampak signifikan bagi rakyat, malah berpotensi merugikan,” ujarnya.

Sorotan itu diperkuat oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait proyek revitalisasi Lapangan Merdeka Medan.

Dalam laporan auditnya, BPK mencatat adanya tunggakan denda keterlambatan sebesar Rp2 miliar pada tahap pertama, serta dugaan penyimpangan senilai Rp254 juta pada tahap kedua terkait pekerjaan fiktif pembuangan tanah galian.

Tak berhenti di situ, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tengah memeriksa dugaan penyimpangan proyek jalan yang melibatkan pergeseran anggaran hingga Rp425 miliar dari APBD ke Dinas PUPR.

Meskipun sejauh ini belum ada bukti langsung yang mengaitkan Bobby Nasution, temuan tersebut memperkuat pandangan publik tentang lemahnya tata kelola dan transparansi dalam proyek-proyek besar daerah.

Di Aceh, kebijakan larangan pelat BL menimbulkan keresahan tersendiri. Banyak masyarakat menilai keputusan tersebut berpotensi memperlebar jarak sosial dan menumbuhkan prasangka antardaerah.

Di media sosial, warganet Aceh ramai melontarkan kritik dan sindiran terhadap kebijakan yang dianggap diskriminatif.

“Kami yang jadi korban dari kebijakan dangkal ini,” ujar seorang warga asal Medan yang telah menetap di Banda Aceh lebih dari satu dekade.

Para pengamat menduga kebijakan ini tidak sepenuhnya terkait urusan lalu lintas, melainkan bagian dari manuver politik menjelang kontestasi nasional.

Isu pelat BL dianggap sebagai “pintu masuk” untuk menguji sensitivitas politik dan etnis di kawasan barat Indonesia—wilayah yang memiliki posisi strategis secara ekonomi maupun geopolitik.

Bobby Nasution sendiri telah memberikan klarifikasi. Menurutnya, kendaraan luar daerah seperti pelat BL wajib mengganti pelat menjadi BK (Sumut) agar pajak kendaraan masuk ke kas daerah.

“Banyak truk besar dari luar provinsi yang melintas dan merusak jalan di Sumut, sementara biaya perbaikannya dibebankan ke APBD. Kalau pajaknya masuk ke daerah, ekonomi kita ikut berputar,” ujar Bobby.

Namun, sejumlah ekonom menilai logika tersebut lemah. Secara ekonomi, perputaran uang daerah justru terjadi ketika kendaraan luar datang dan bertransaksi—membeli bahan bakar, makan, menginap, dan berbelanja di wilayah Sumut.

Artinya, tanpa perlu mengganti pelat nomor pun, aktivitas ekonomi lintas daerah sudah memberi dampak positif bagi perekonomian lokal.

Permasalahan sebenarnya bukan pada pelat kendaraan, melainkan pada mekanisme bagi hasil pajak lintas provinsi yang sudah diatur dalam undang-undang.

Alih-alih memperkuat sinergi antardaerah, kebijakan pelarangan pelat luar justru memperlihatkan cara pandang sempit terhadap ekonomi regional—seolah pertumbuhan hanya dapat diraih melalui aturan administratif, bukan kolaborasi pembangunan.

Yang paling disayangkan, kebijakan ini dieksekusi tanpa komunikasi publik yang matang. Tidak ada sosialisasi yang memadai, padahal dampaknya menyentuh aspek sosial, ekonomi, hingga psikologis masyarakat di perbatasan.

Langkah sepihak tersebut menimbulkan kesan kepemimpinan yang reaktif dan tergesa-gesa.

Kini dampak sosialnya mulai terasa. Hubungan antara dua provinsi yang selama ini saling menopang di sektor perdagangan, pendidikan, dan mobilitas tenaga kerja kembali tegang.

Padahal, Aceh dan Sumatera Utara memiliki potensi besar untuk tumbuh sebagai simpul ekonomi kawasan barat Indonesia—bukan terjebak dalam rivalitas identitas yang tak produktif.

Kebijakan pelat BL ini memperlihatkan bagaimana politik administratif bisa bergeser menjadi politik identitas ketika tidak dikelola dengan kehati-hatian.

Dalam konteks kepemimpinan daerah, tindakan seperti ini menunjukkan lemahnya orientasi pada substansi kebijakan publik.

Aceh dan Sumut seharusnya menjadi contoh sinergi pembangunan regional, bukan cermin dari pertentangan lama yang seharusnya sudah selesai.

Namun, keputusan yang lebih politis daripada rasional itu kini justru menghidupkan kembali sekat emosional antara dua daerah bertetangga.

Kebijakan semacam ini bukan hanya menggoyahkan kepercayaan publik, tetapi juga menunjukkan bagaimana politik bisa menjadi dangkal ketika kehilangan arah pada kepentingan rakyat.

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung