RATASTV – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus dosen tetap Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Bambang Soesatyo (Bamsoet) menuturkan, meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membawa semangat reformasi dan efisiensi, namun sistem pengawasan BUMN masih dikuasai oleh pengawasan internal dan pengaruh Kementerian BUMN yang memiliki dua peran sekaligus, yakni sebagai pemilik dan pengawas. Dualisme ini dinilai berpotensi menciptakan konflik kepentingan dan melemahkan prinsip check and balance dalam pengelolaan perusahaan negara. Ketiadaan lembaga pengawas eksternal yang benar-benar independen membuat proses pengawasan cenderung bersifat administratif dan minim partisipasi publik.
“Pembaruan hukum pengawasan BUMN merupakan kebutuhan fundamental untuk menjaga integritas dan keberlanjutan BUMN sebagai penggerak pembangunan nasional. Para pembuat kebijakan harus segera merumuskan peraturan pelaksana yang menjamin koordinasi antar lembaga, partisipasi publik, dan prioritas pembentukan lembaga pengawasan independen lintas sektor. Hanya dengan langkah progresif ini, tata kelola BUMN Indonesia dapat bertransformasi menjadi lebih profesional, modern, dan mampu memulihkan kepercayaan publik atas pengelolaan aset negara,” ujar Bamsoet secara virtual dari Bali saat mengajar mata kuliah ‘Pembaharuan Hukum Nasional’, Program Doktor Ilmu Hukum di Kampus Universitas Borobudur, Sabtu (31/5).
Ketua MPR ke-15 dan Ketua DPR ke-20 ini memaparkan, keberadaan UU No. 1 Tahun 2025 masih menunjukkan beberapa tantangan dalam efektivitas pengawasan. Ditemukan potensi tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antara Dewan Komisaris sebagai pengawas internal dan Kementerian BUMN sebagai pengawas eksternal yang dapat melemahkan koordinasi. Dominasi politik dalam pengisian posisi Dewan Komisaris pun dikhawatirkan mengancam independensi dan profesionalisme pengawasan.
Kasus penyimpangan signifikan yang pernah mengguncang BUMN, seperti skandal di Jiwasraya dan permasalahan tata kelola di Garuda Indonesia, merupakan cermin nyata dari belum optimalnya sistem pengawasan yang berjalan. Reformasi pengawasan tidak cukup hanya bersifat struktural, melainkan harus menyentuh perubahan konseptual.
“Salah satu terobosan yang bisa diambil adalah pembentukan lembaga pengawasan independen yang memiliki otoritas, otonomi, dan kapasitas teknis yang mumpuni. Lembaga ini diharapkan mampu melakukan audit, evaluasi, dan investigasi secara menyeluruh terhadap semua BUMN, baik yang berstatus Persero maupun Perum, tanpa intervensi,” kata Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, di samping aspek kelembagaan, modernisasi sistem pengawasan melalui digitalisasi juga perlu dilakukan. Implementasi teknologi informasi dan audit berbasis risiko dapat dilakukan secara real-time dan terintegrasi. Penguatan mekanisme perlindungan bagi pelapor pelanggaran (whistleblower protection), peningkatan transparansi melalui keterbukaan hasil audit kepada publik, serta peningkatan kompetensi Dewan Komisaris dan satuan pengawas internal juga harus dilakukan.
“Sejumlah negara seperti Singapura, Korea Selatan, dan Norwegia telah berhasil memisahkan fungsi pengawasan dari pengaruh politik dan birokrasi melalui pembentukan lembaga independen, seperti Temasek Holdings, Public Institutions Management Committee, dan Government Pension Fund Global. Keberhasilan mereka dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance secara konsisten menjadi bukti bahwa independensi pengawasan adalah kunci,” pungkas Bamsoet.