Sense of Bureaucracy: Mengapa Integritas Saja Tak Menyelamatkan Pejabat Publik
RATASTV – Penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook untuk program digitalisasi pendidikan, memicu perdebatan publik. Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, bahkan menyebut Nadiem sebagai sosok bersih, namun “tidak paham birokrasi dan pemerintahan.”
Pernyataan itu mengundang pertanyaan penting: seberapa krusial pemahaman birokrasi bagi pejabat publik, terutama seorang menteri?
Dari Pebisnis ke Menteri: Jebakan Ketidaktahuan Birokrasi
Guru Besar IPDN, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., menegaskan bahwa integritas saja tidak cukup. Dalam wawancaranya dengan Radio Elshinta (10/9/2025), ia menyebut pejabat bersih bisa ikut larut dalam sistem kotor jika tidak memahami seluk-beluk birokrasi.
Menurutnya, Nadiem adalah contoh klasik pebisnis yang terbiasa dengan birokrasi korporasi yang fleksibel, namun kesulitan beradaptasi dengan birokrasi negara yang rigid dan penuh mekanisme pengawasan.
“Di pemerintahan, uang rakyat dikelola dengan aturan berlapis. Tidak bisa hanya mengandalkan inisiatif pribadi, semua harus tunduk pada prinsip transparansi dan akuntabilitas,” jelas Djohermansyah.
Kritik terhadap Pola Pengangkatan Pejabat
Djohermansyah menyoroti pola rekrutmen pejabat era Presiden Joko Widodo yang dinilainya kerap abai pada kompetensi birokratis. Posisi penting, kata dia, sering diisi oleh figur populer atau profesional dari sektor swasta yang belum siap menghadapi kompleksitas birokrasi.
“Praktik pengangkatan pejabat terlihat gegabah, lebih pada like and dislike daripada hitungan matang atas kapasitas teknis dan manajerial,” tegasnya.
Korupsi: Tiga Pola Umum
Ia menguraikan tiga pola korupsi yang lazim terjadi:
1. Korupsi birokrasi – melibatkan ASN atau pejabat struktural.
2. Korupsi politisi/pejabat negara – penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi.
3. Kolusi birokrasi-politisi – sinergi keduanya yang memperkuat praktik korupsi.
Dalam kasus Nadiem, menurutnya, perlu dilihat lebih jauh: apakah korupsi berasal dari birokrasinya, atau ada aktor politik yang bermain di balik layar?
“Tanda Tangan Beracun”
Djohermansyah mengingatkan bahwa banyak pejabat terseret kasus hanya karena tanda tangan mereka muncul dalam dokumen pengadaan bermasalah, meski tidak menikmati dana hasil korupsi.
“Tanda tangan bisa jadi beracun. Banyak pejabat yang sudah pensiun tiba-tiba dipanggil sebagai tersangka karena dokumen lama,” ujarnya.
Menteri Bukan Hanya Butuh Niat Baik
Ia menekankan, menjadi menteri tidak cukup hanya dengan integritas dan visi. Seorang menteri harus memahami sistem birokrasi, mengelola ribuan ASN, serta menjalankan prosedur dengan disiplin.
“Kalau tidak paham sistem, asal perintah, bisa celaka,” tandasnya.
Catatan Kritis untuk Reformasi
Selain individu, ia juga mengkritisi KPK agar lebih fokus pada pencegahan, bukan sekadar penindakan. Penurunan indeks persepsi korupsi Indonesia, menurutnya, menjadi sinyal bahwa reformasi birokrasi masih jalan di tempat.
Kasus Nadiem Makarim adalah pengingat bahwa integritas hanyalah fondasi awal. Tanpa sense of bureaucracy, niat baik pejabat publik bisa berubah jadi bumerang. Dalam dunia pemerintahan, sebuah tanda tangan bisa menyelamatkan kebijakan—atau justru menghancurkan karier.