banner

Suara Perempuan Aceh: Dua Dekade Merawat dan Menjaga Perdamaian

Senin, 25 Agustus 2025 17:33 WIB
Oleh: Diaz
IMG-20250819-WA0004-1

Suara Perempuan Aceh: Dua Dekade Merawat dan Menjaga Perdamaian

RATASTV — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan apresiasi dan penghormatan tinggi kepada perempuan Aceh, khususnya para korban, penyintas, serta perempuan pembela HAM yang selama dua dekade terus merawat dan menjaga perdamaian pascakonflik.

Apresiasi tersebut disampaikan dalam Webinar Internasional memperingati 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia dan 20 Tahun Perjanjian Damai Helsinki, Selasa (19/8/2025).

“Perempuan Aceh telah memberikan wajah perempuan yang tidak pernah lelah bertahan, bersuara, dan berdiri di depan dalam menjaga serta merawat damai sepanjang 20 tahun hingga hari ini,” ujar Yuni Asriyanti, Komisioner Komnas Perempuan.

Menurutnya, perdamaian Aceh harus diikuti dengan penyelesaian isu-isu utama yang dihadapi perempuan korban, mulai dari dukungan ekonomi, akses keadilan, pendidikan, hingga transportasi. Semua itu membutuhkan tindak lanjut nyata dan penguatan tanggung jawab negara untuk menghadirkan keadilan serta pemulihan bagi perempuan korban.

“Pemulihan dan keadilan bagi perempuan korban dan penyintas pelanggaran HAM masa lalu, termasuk perempuan disabilitas, perempuan minoritas, dan korban kekerasan, adalah agenda perdamaian yang tidak boleh diabaikan. Jika diabaikan, perdamaian akan kehilangan makna dan justru mewariskan dampak bagi generasi mendatang,” tegas Yuni.

Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, menambahkan bahwa suara perempuan penyintas Aceh adalah pengingat bahwa perdamaian bukan sekadar tanda tangan perjanjian, melainkan amanah moral negara. Tanpa pemulihan dan keadilan, perdamaian akan tetap rapuh.

Dua puluh tahun setelah penandatanganan MoU Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata tiga dekade, perempuan korban masih menghadapi beban berat: kehilangan orang tercinta, trauma mendalam,

keterbatasan pemulihan, hingga tekanan sosial-ekonomi. Kondisi ini mencerminkan bahwa suara perempuan, terutama dari kelompok marginal, masih kerap terabaikan dalam kebijakan pascakonflik.

Komnas Perempuan menekankan pentingnya reparasi menyeluruh yang memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan korban, sekaligus memperkuat partisipasi bermakna perempuan dalam perumusan kebijakan pembangunan di Aceh.

Hal ini sejalan dengan Resolusi PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan, yang telah diadopsi Indonesia dalam RAN P3AKS, serta rencana aksi daerah di Aceh.

“Suara perempuan korban adalah penunjuk arah bangsa. Mereka bukan hanya saksi luka masa lalu, tetapi juga penjaga masa depan perdamaian.

Negara wajib hadir dengan kebijakan yang berpihak, agar damai Aceh menjadi pelajaran penting tentang pemulihan dan keadilan nyata bagi generasi mendatang,” pungkas Yuni.

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung