banner

Pilkada Dibiayai APBN, Bukan Lagi APBD: Selaras atau Bertentangan dengan Otonomi Daerah?

Jumat, 22 Agustus 2025 10:34 WIB
Oleh: Diaz
IMG-20250813-WA0019

Pilkada Dibiayai APBN, Bukan Lagi APBD: Selaras atau Bertentangan dengan Otonomi Daerah?

RATASTV – Wacana Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) dibiayai langsung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan lagi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), memantik perdebatan hangat di ruang publik.

Usulan ini dinilai dapat meringankan beban fiskal pemerintah daerah, yang selama ini harus menyisihkan anggaran miliaran rupiah hanya untuk pesta demokrasi lima tahunan. Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, bahkan menyebut wacana ini sebagai langkah tepat untuk memperkuat peran negara dalam membiayai demokrasi. Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: apakah kebijakan ini sejalan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah?

*KPU: Lembaga Nasional, Bukan Daerah*

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, menegaskan bahwa secara kelembagaan KPU adalah organ nasional dengan jaringan hingga ke provinsi, kabupaten, dan kota.

“Sejak awal, tugas KPU memang menyelenggarakan pemilu maupun pilkada di seluruh Indonesia. Jadi ketika ada usulan agar biaya pilkada ditanggung APBN, itu sebetulnya sejalan dengan tugas pokok KPU,” ujarnya dalam diskusi di Radio Elshinta, Kamis (21/8/2025).

Selama ini, biaya pileg DPRD ditanggung APBN. Maka, menurut Prof. Djo, logikanya pilkada juga semestinya masuk dalam tanggungan APBN, bukan lagi APBD melalui hibah pemerintah daerah.

APBD Makin Tercekik

Masalahnya, kondisi fiskal baik di pusat maupun daerah kini sama-sama “tidak baik-baik saja.” Pemerintah pusat tengah melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk mengurangi transfer dana ke daerah.

“Dana transfer ke daerah yang semula rata-rata sepertiga dari APBN, kini menyusut. Tahun depan 2026 hanya seperlima. Itu berarti APBD di banyak daerah semakin cekak. Bila pilkada masih ditanggung APBD, tentu akan sangat membebani, terutama daerah dengan kapasitas fiskal rendah,” ungkap Prof. Djo.

Ia menyebut jumlah daerah dengan PAD kecil sangat banyak, sekitar 400-an daerah, yang berisiko terhimpit bila harus menanggung biaya politik elektoral.

Tanggung Jawab Negara atas Demokrasi

Menurut Prof. Djo, biaya pilkada memang sepatutnya menjadi tanggung jawab negara. Bila ditaksir, total pembiayaan pilkada serentak nasional sekitar Rp70–80 triliun, jumlah yang masih rasional dibanding total APBN sekitar Rp4.000 triliun.

“Secara persentase, tidak terlalu tinggi. Yang penting pelaksanaannya efisien, hemat, dan tidak boros. Tapi tentu ini harus dihitung dengan kemampuan fiskal negara,” paparnya.

Ia menekankan perlunya koordinasi intens antara KPU dan Kementerian Keuangan agar desain pembiayaan pilkada dapat masuk dalam postur APBN tanpa mengorbankan program prioritas lain.

Dampak Langsung bagi Daerah

Bila skema APBN tidak diberlakukan, dampak nyata justru dirasakan langsung masyarakat. Daerah dengan PAD rendah bisa terpaksa memangkas anggaran pelayanan publik.

“Kalau APBD mereka dipakai untuk pilkada, itu akan langsung mengganggu pelayanan dasar. Bisa-bisa anggaran obat di puskesmas berkurang, pelayanan rumah sakit menurun, atau perbaikan sekolah terbengkalai,” kata Prof. Djo.

Dengan kata lain, keberlangsungan otonomi daerah justru bisa tercederai bila APBD habis tersedot untuk agenda politik, bukan pelayanan publik.

Jangan Hanya “Memindahkan Kantong

Meski setuju dengan usulan KPU, Prof. Djo mengingatkan agar skema APBN tidak sekadar memindahkan beban fiskal.

“Kalau cuma diputar-putar, APBD dikurangi lalu ditarik ke APBN untuk pilkada, itu sama saja. Yang dibutuhkan adalah tambahan nyata dari APBN, bukan sekadar pengalihan,” tegasnya.

Ia mengusulkan formulasi yang lebih adil, di mana daerah tetap mendapat porsi anggaran sesuai kebutuhan—berdasarkan jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, hingga kondisi geografis—tanpa dikurangi karena adanya agenda pilkada.

*Demokrasi sebagai Kewajiban Negara*

Dari perspektif tata kelola, wacana KPU ini justru sejalan dengan prinsip bahwa pemilu dan pilkada adalah urusan nasional. Negara, dalam hal ini APBN, wajib menanggung biayanya.

Namun, kuncinya ada pada desain fiskal yang adil dan efisien agar tidak merugikan daerah, terutama mereka yang kapasitas fiskalnya rendah.

“Pilkada bukan sekadar hajatan politik, melainkan tanggung jawab negara dalam menjaga kualitas demokrasi. Dan ongkos untuk itu, memang seharusnya menjadi kewajiban negara,” tutup Prof. Djo.

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung