banner

Mencap Dosen dan Guru Beban Negara, Sri Mulyani Cacat Moral

Rabu, 20 Agustus 2025 16:00 WIB
Oleh: Diaz
1000594365-4005527375

Mencap Dosen dan Guru Beban Negara, Sri Mulyani Cacat Moral

Oleh: Danu Abian Latif
Penulis Buku Opini Nakal untuk Indonesia

RATASTV – Pernyataan bahwa guru dan dosen dianggap sebagai beban negara, yang sempat menyeruak dari pejabat tinggi keuangan negara, menimbulkan luka mendalam di hati rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin figur yang selama ini mengabdikan dirinya demi mencerdaskan bangsa justru diposisikan sebagai beban fiskal? Guru adalah ujung tombak peradaban, bukan sekadar angka dalam tabel APBN. Dosen adalah penopang lahirnya pengetahuan dan inovasi, bukan sekadar pegawai yang memakan anggaran negara. Pernyataan semacam itu tidak hanya mengerdilkan martabat guru, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi negara yang jelas-jelas menegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara dan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) secara gamblang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Ayat (3) menegaskan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Lebih tegas lagi, pada ayat (4) ditetapkan bahwa negara wajib mengalokasikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan. Dengan demikian, konstitusi tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai beban, melainkan sebagai kewajiban, dan guru sebagai subjek utama dalam pelaksanaan amanat konstitusi itu.

Data dari Kementerian Keuangan RI tahun 2024 menunjukkan alokasi anggaran pendidikan mencapai Rp660,8 triliun atau 20% dari APBN. Dari jumlah tersebut, sebagian besar dialokasikan untuk gaji, tunjangan, sertifikasi guru, beasiswa, serta pembangunan sarana pendidikan. Apakah hal itu bisa dikatakan sebagai pemborosan? Atau justru investasi masa depan bangsa? Jika negara mengeluarkan Rp600 triliun untuk infrastruktur jalan tol, jembatan, atau bendungan, publik jarang sekali mendengar istilah “beban negara.” Tetapi mengapa ketika dana itu untuk guru dan dosen, ia tiba-tiba disebut beban? Ada ketidakadilan narasi di sini, seakan-akan otak dan moral bangsa dianggap kurang penting dibandingkan beton dan aspal.

Kita bisa menengok data global. Di Finlandia, negara yang dikenal sebagai salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia, guru diperlakukan sebagai profesi terhormat. Gaji guru pemula di Finlandia pada 2023 rata-rata sekitar 3.000 euro per bulan atau sekitar Rp50 juta, bahkan lebih tinggi di tingkat menengah. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 , rata-rata gaji guru negeri hanya sekitar Rp3,5–5 juta per bulan , sementara banyak guru honorer hidup dengan gaji Rp500 ribu hingga Rp1,5 juta. Perbandingan ini menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh tertinggal dalam memuliakan guru. Tetapi ironisnya, bukan hanya gajinya rendah, kini mereka pun diberi stigma sebagai beban negara.

Padahal, kontribusi guru dan dosen tidak bisa diukur semata dengan uang. Menurut laporan UNESCO Education for All 2021 , setiap peningkatan kualitas pendidikan sebesar 10% berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi hingga 2% di negara berkembang. Pendidikan tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi juga membangun kualitas demokrasi, kesehatan, dan stabilitas sosial. Apabila guru dianggap sebagai beban, itu sama saja dengan negara sedang mematikan motor penggerak pembangunan manusia.

Masyarakat pun menilai pernyataan semacam ini menyalahi logika dasar demokrasi. Konstitusi UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Dalam demokrasi, guru adalah agen demokratisasi karena mereka menanamkan nilai kebebasan berpikir dan kesadaran politik sejak dini. Mengkerdilkan guru berarti mengkerdilkan rakyat, dan pada akhirnya merusak legitimasi demokrasi itu sendiri. Kritik dari kalangan mahasiswa dan LSM semakin keras, menyebut bahwa pemerintah seakan ingin lepas tangan dari kewajibannya dengan melimpahkan tanggung jawab ke pundak rakyat.

Sejak reformasi, peran guru tidak pernah mudah. Ribuan guru honorer masih belum mendapatkan kepastian status. Data Kemdikbud mencatat pada 2023 terdapat sekitar 1,6 juta guru honorer di Indonesia, dengan kesejahteraan jauh di bawah standar. Pemerintah memang berjanji mengangkat mereka lewat jalur ASN PPPK, tetapi realisasi berjalan lambat. Ironisnya, alih-alih mempercepat perbaikan nasib guru, justru muncul narasi bahwa guru adalah beban. Di sini letak kontradiksi moral itu pejabat negara menerima gaji puluhan hingga ratusan juta dengan segala fasilitas, tetapi guru yang digaji rendah dan berjasa besar malah dicap sebagai beban.

Kritik juga datang dari kalangan akademisi. Prof. Azyumardi Azra (alm) pernah menegaskan bahwa kualitas pendidikan tidak akan meningkat tanpa penghormatan terhadap profesi guru. Dalam tulisannya, ia mengingatkan bahwa jika pemerintah gagal memuliakan guru, bangsa ini hanya akan menghasilkan generasi dengan kemampuan literasi rendah. Data Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan peringkat literasi Indonesia masih berada di posisi 70 dari 81 negara. Angka ini mencerminkan lemahnya kualitas pendidikan. Tetapi apakah yang salah ada pada guru? Atau pada negara yang tidak memberi dukungan layak?

Di negara-negara Eropa, bukan hanya gaji yang diperhatikan, tetapi juga fasilitas dan beban kerja. Di Jerman , misalnya, guru mendapat pelatihan berkelanjutan, akses riset, serta perlindungan hukum yang kuat. Negara memahami bahwa guru adalah fondasi masa depan, sehingga investasi di sektor itu tidak pernah diperdebatkan sebagai beban. Bandingkan dengan Indonesia yang masih menganggap anggaran guru sebagai pos pemborosan. Perbedaan paradigma inilah yang membuat Eropa terus melesat, sementara Indonesia berjalan terseok-seok.

Lebih parah lagi, narasi bahwa guru adalah beban negara bisa melahirkan efek psikologis yang buruk. Guru merasa tidak dihargai, motivasi mengajar menurun, dan kualitas pembelajaran pun terdampak. Dalam jangka panjang, murid yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama justru yang paling dirugikan. Bukankah itu sama saja dengan mencederai amanat konstitusi yang mewajibkan pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa?

Masyarakat tidak boleh diam terhadap narasi semacam ini. Guru bukan beban negara, melainkan beban sejarah beban luhur untuk melahirkan generasi yang bermoral, berilmu, dan bermartabat. Negara seharusnya berterima kasih, bukan malah menganggap mereka sebagai pengurang kas. Uang bisa habis, tetapi ilmu yang ditanamkan guru akan bertahan lintas generasi. Tidak ada tol, bandara, atau gedung megah yang bisa berdiri tanpa guru yang dahulu mengajari membaca dan berhitung para insinyur dan pejabat.

Pada akhirnya, opini publik menilai bahwa pemerintah tengah keliru menempatkan prioritas. Infrastruktur memang penting, investasi asing memang perlu, tetapi keduanya tidak ada artinya jika generasi bangsa tidak cerdas. Guru adalah pilar utama membangun manusia. Jika pemerintah menganggap mereka beban, maka sejatinya pemerintah sedang menggali lubang besar untuk masa depan Indonesia. Pendidikan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang, bukan sebagai pos pengeluaran yang membebani.

Oleh karena itu, rakyat harus bersuara lebih keras. Kritik dari mahasiswa, LSM, dan organisasi guru harus diperkuat. Pemerintah harus segera memperbaiki narasi publik dan menyatakan komitmen penuh terhadap guru. Tidak cukup dengan sekadar jargon “guru pahlawan tanpa tanda jasa.” Guru harus diberi penghargaan nyata gaji layak, status jelas, fasilitas mendukung, dan perlindungan hukum. Hanya dengan itu Indonesia bisa melangkah sejajar dengan bangsa-bangsa maju.

Menyebut guru dan dosen sebagai beban negara bukan hanya salah secara moral, tetapi juga cacat secara konstitusional, ekonomis, dan historis. Pendidikan adalah mandat suci UUD 1945, guru adalah jantung pendidikan, dan tanpa mereka negara ini akan hancur. Yang menjadi beban sesungguhnya bukanlah guru, melainkan pejabat yang gagal menghargai guru.

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung