banner

Royalti Musik di Indonesia: Antara Hak Cipta, Polemik, dan Kepastian Hukum

Senin, 18 Agustus 2025 16:12 WIB
Oleh: Diaz
IMG-20250818-WA0016

Royalti Musik di Indonesia: Antara Hak Cipta, Polemik, dan Kepastian Hukum

RATASTV — Royalti musik kerap menimbulkan polemik di Indonesia. Padahal, secara sederhana, royalti adalah imbalan yang wajib diterima pencipta, musisi, maupun pemilik master rekaman atas penggunaan karya mereka.

Dalam industri musik, dikenal dua jenis utama royalti: performing rights dan mechanical rights. Performing rights timbul ketika lagu diputar di ruang publik—seperti konser, radio, televisi, kafe, hingga hotel. “Performing royalti muncul karena karya digunakan secara komersial, melibatkan pencipta, musisi rekaman, dan pemilik master,” jelas pengamat musik Aden Dharma (18/8/2025).

Sementara itu, mechanical rights berlaku ketika karya diperbanyak dalam bentuk fisik (kaset, CD, piringan hitam) maupun digital (streaming dan unduhan). Selain itu ada synchronization fee, yaitu imbalan dari penggunaan lagu dalam film, iklan, atau media visual.

Dasar Hukum dan Peran LMKN

Di Indonesia, perlindungan royalti diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Implementasinya dipercayakan kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menarik dan mendistribusikan royalti.

Namun, langkah LMKN kerap menuai resistensi. Banyak pelaku usaha hiburan menolak penarikan royalti, menudingnya sebagai “pungutan”. Menurut Aden Dharma, keberatan itu lebih karena rendahnya kesadaran hukum. “Aturannya sudah ada, hanya belum ditaati,” ujarnya.

Hal serupa disampaikan Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si, mantan Wakil Ketua Komisi X DPR RI yang ikut menggagas UU Hak Cipta. Menurutnya, izin membawakan lagu sejatinya cukup dengan membayar royalti melalui LMKN, tanpa harus meminta izin langsung ke pencipta. “Kalau ada asosiasi memungut sendiri, itu liar dan meresahkan,” tegasnya.

Minimnya Edukasi HKI

Polemik royalti juga dipicu minimnya edukasi soal hak kekayaan intelektual (HKI). Banyak pencipta tidak tahu cara melindungi karyanya, sementara penyanyi dan musisi kerap salah paham soal hak performa. Akibatnya, konflik horizontal antar seniman pun kerap muncul.

“HKI bukan hanya soal hukum, tapi soal keadilan dan keberlangsungan karya. Kalau pelaku seni saling menjatuhkan, industri musik bisa runtuh dari dalam,” kata Rully. Ia bahkan menyarankan agar edukasi hak cipta masuk ke kurikulum sekolah musik, kontrak kerja seniman, hingga pelatihan di industri hiburan.

Menuju Kepastian Hukum

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) sejak 2016 gencar menyosialisasikan UU Hak Cipta. Pada 2025, sejumlah pasal yang multitafsir diuji materi di Mahkamah Konstitusi untuk mempertegas kepastian hukum.

Menurut Rully, sistem pengelolaan royalti juga perlu disesuaikan dengan era digital. “Sudah saatnya dievaluasi agar lebih efektif. Sistem kolek royalti harus jelas dan memanfaatkan teknologi,” ujarnya.

Lebih dari Sekadar Angka

Pada akhirnya, royalti musik bukan sekadar hitungan rupiah. Ia adalah wujud penghargaan terhadap kreativitas dan keadilan bagi para pencipta. Tanpa kepastian hukum dan edukasi yang memadai, royalti akan terus menjadi polemik berkepanjangan.

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung