banner

Kebebasan Dibungkam? UU PDP Dinilai Bisa Kriminalisasi Jurnalis, Akademisi, dan Seniman

Selasa, 5 Agustus 2025 03:24 WIB
Oleh: Hadits
UU PDP 1

RATASTV — Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) kini menuai gugatan. Pasalnya, sejumlah pasal dalam beleid ini dinilai berpotensi menjadi alat kriminalisasi terhadap jurnalis, peneliti, dan seniman yang selama ini menjadi pengawas publik terhadap praktik kekuasaan.

Melalui permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Koalisi Masyarakat Sipil Kebebasan Informasi dan Data Pribadi (SIKAP) — yang terdiri dari LBH Pers, Elsam, AJI Indonesia, SAFEnet, serta sejumlah akademisi dan pelaku seni — meminta agar pasal-pasal kontroversial dalam UU PDP dikecualikan bagi kerja-kerja yang berlandaskan kepentingan publik.

Pasal Karet: Publikasi Kritik Bisa Dipenjara
Permohonan ini berfokus pada Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2), yang melarang pengungkapan data pribadi dan mengancam pelanggarnya dengan pidana penjara hingga 4 tahun dan/atau denda hingga Rp 4 miliar.

Direktur LBH Pers, Mustafa, menyebut pasal-pasal ini sebagai “pasal karet” yang terlalu luas, karena tidak mempertimbangkan konteks dan niat dari pengungkapan data.

“Jika seorang jurnalis mempublikasikan bukti transfer dalam kasus dugaan korupsi, atau seniman membuat karya berbasis figur publik, mereka bisa dikenai sanksi pidana karena dianggap membocorkan data pribadi,” kata Mustafa saat memberikan keterangan di Gedung MK.

Ketika Kritik Dianggap Ancaman Privasi
Kekhawatiran lain datang dari ketentuan UU PDP yang mengklasifikasikan catatan kejahatan dan data keuangan sebagai data pribadi spesifik, tanpa pengecualian untuk pejabat negara.

Gema Gita Persada, Koordinator Advokasi LBH Pers, menegaskan bahwa logika ini bertolak belakang dengan semangat keterbukaan informasi publik.

“Data keuangan dan hukum pejabat negara adalah informasi penting untuk pengawasan publik. Tapi UU ini menyamakannya dengan data pribadi biasa, padahal pejabat punya tanggung jawab transparansi,” ujarnya.

Permintaan: Pengecualian untuk Kepentingan Publik
Koalisi SIKAP mendesak MK untuk menyatakan bahwa Pasal 65 ayat (2) dan Pasal 67 ayat (2) bertentangan dengan konstitusi jika tidak memberi ruang pengecualian bagi aktivitas jurnalistik, riset akademik, karya sastra, dan ekspresi seni.

“Kita tidak menolak perlindungan data pribadi. Tapi regulasi ini harus punya pengecualian yang tegas, agar tidak mengorbankan kebebasan berekspresi dan fungsi kontrol publik,” tambah Mustafa.

UU PDP: Tujuan Mulia, Implementasi Bermasalah
Disahkan pada 2022, UU PDP dimaksudkan untuk memberikan kerangka hukum atas pengelolaan data pribadi masyarakat. Namun, di tengah semangat menjaga privasi, kritik justru muncul karena absennya pengakuan terhadap konteks pengungkapan — terutama untuk tujuan jurnalistik dan kepentingan publik.

Tidak seperti regulasi di negara-negara demokratis, UU PDP Indonesia tidak secara eksplisit mengecualikan karya jurnalistik atau penelitian akademik dari sanksi pidana terkait pengungkapan data.

Demokrasi Tanpa Kritik?
Langkah Koalisi SIKAP mengajukan uji materi ini menandai momentum penting untuk menentukan arah perlindungan data di Indonesia: apakah akan selaras dengan nilai-nilai demokrasi, atau justru menjadi alat legal pembungkaman suara publik.

“Jika jurnalis, peneliti, dan seniman bisa dikriminalisasi hanya karena mempublikasikan informasi yang relevan dengan kepentingan publik, maka demokrasi kita sedang dalam ancaman serius,” tutup Gema. (HDS)

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung