RATASTV — Mahkamah Agung (MA) membatalkan kontrak kerja sama antara PD Migas Kota Bekasi dan perusahaan asing Foster Oil & Energi Pte Ltd yang dinilai melanggar konstitusi daerah dan berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp1,2 triliun. Putusan ini sekaligus membuka kembali sorotan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan badan usaha milik daerah (BUMD) di sektor energi.
Kontrak kerjasama dalam bentuk Joint Operating Agreement (JOA) tersebut diteken antara tahun 2011–2019 tanpa persetujuan DPRD Kota Bekasi. Padahal, Perda No. 9 Tahun 2009 mewajibkan seluruh kerja sama strategis BUMD mendapat restu legislatif. Amandemen dilakukan tiga kali—pada 2012, 2013, dan 2019—juga tanpa transparansi dan kajian risiko.
“Kontrak ini tidak hanya menabrak perda, tapi juga konstitusi pengelolaan keuangan daerah. Ini bukan wanprestasi bisnis biasa, melainkan pelanggaran hukum publik,” ujar Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Selasa (9/7/2025).
PD Migas sempat digugat Foster Oil ke PN Bekasi dan PT Bandung karena membatalkan JOA dan mencopot General Manager dari pihak asing tersebut. Dua tingkat pengadilan mengabulkan sebagian gugatan, mewajibkan PD Migas membayar ganti rugi Rp11,89 miliar.
Namun, pada April 2022, Mahkamah Agung membalik keadaan. Dalam putusan No. 985 K/Pdt/2022, MA:
Dalam amar putusannya, MA menegaskan bahwa “perjanjian yang bertentangan dengan Perda dan merugikan keuangan daerah tidak boleh dilindungi hukum.”
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPKP pada 2020 menyatakan bahwa pembagian keuntungan kerja sama tersebut sangat timpang: 90% untuk Foster Oil, hanya 10% untuk PD Migas. Padahal, seluruh beban operasional ditanggung PD Migas. Jika dilanjutkan, skema tersebut diperkirakan menyebabkan kerugian hingga Rp1,2 triliun dalam 10 tahun.
Sementara LHP BPK untuk Provinsi Jawa Barat periode 2018–2023 menyoroti bahwa kerja sama BUMD tanpa persetujuan DPRD merupakan potensi kerugian daerah. BPK merekomendasikan audit investigatif dan sanksi terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Menurut IAW, upaya membawa perkara ini ke ranah perdata oleh pihak Foster Oil diduga sebagai modus pencucian hukum, yakni menyamarkan pelanggaran hukum publik seolah-olah sebagai sengketa bisnis biasa. “Ini jelas penyalahgunaan wewenang, patut disidik aparat penegak hukum,” tegas Iskandar.
IAW mendesak agar aparat hukum dan lembaga pengawas segera menindaklanjuti temuan ini. Beberapa rekomendasi strategis IAW antara lain:
“Skandal ini harus jadi pelajaran bahwa BUMD bukan alat kongkalikong elite daerah. Tidak boleh ada pejabat yang menjual kedaulatan hukum atas nama investasi,” tegas Iskandar.
Ia menekankan, penggunaan jalur perdata untuk mengaburkan kejahatan tata kelola keuangan daerah harus dihentikan. “BUMD adalah milik rakyat. Bukan lahan persekongkolan bisnis yang berlindung di balik legalitas palsu.” (HDS)