RATASTV – Gelombang desakan untuk pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus menguat. Forum Purnawirawan TNI secara tegas menyatakan akan menduduki gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) apabila surat usulan pemakzulan Gibran dari jabatannya sebagai Wakil Presiden tidak kunjung direspons.
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto mengungkapkan bahwa pihaknya telah berulang kali melakukan pendekatan dengan cara yang sopan. Namun, karena tidak mendapatkan timbal balik yang semestinya, mereka siap menempuh langkah yang lebih drastis.
“Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi diabaikan, nggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa. Kita duduki MPR Senayan sana. Oleh karena itu, saya minta siapkan kekuatan,” kata Slamet dalam konferensi pers di Hotel Arion Suites, Kemang, Jakarta, Rabu (3/7/2025).
Forum Purnawirawan TNI menyebut keterpilihan Gibran sebagai buah dari konsensus politik yang dipaksakan. Mereka menilai bahwa proses pencalonannya bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral, dan menegaskan bahwa tujuan memakzulkan Gibran semata-mata ingin menyelamatkan bangsa dan negara.
Dalam kesempatan yang sama, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, yang juga tergabung dalam Forum Purnawirawan TNI, menyoroti adanya perbedaan pandangan di antara purnawirawan lain yang tidak sejalan dengan forum tersebut.
“Tadi sudah disampaikan tentang semangat dari kita, Forum Purnawiran Prajurit TNI. Saya hanya menambahkan, bahwasanya Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu beda sama purnawirawan TNI yang menyalah-nyalahkan kita. Padahal kita sumbernya sama. Kita digodok di tempat yang sama, tapi begitu kita ngomong yang benar, sana bilang itu di luar formasi kita,” jelas Hanafie Asnan pada konferensi pers yang digelar pada Rabu (2/7/2025) itu.
Hanafie menyebut, saat ini memang posisi mereka berbeda. Satu pihak mungkin merasa takut akan perubahan, sementara pihak lain ingin mendorong perubahan. “Nggak apa-apa, memang beda sekarang jadinya. Mana yang takut digusur, mana yang mau menggusur,” ujarnya.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa Forum Purnawirawan TNI tegak lurus dengan Sapta Marga Prajurit. “Jadi kita tenang-tenang saja, tidak ada masalah. Hanya tolong nanti kalau ditanya sama beliaunya, ya kita garis lurus sama Sapta Marga Prajurit, dan politik kita adalah politik kenegaraan, bukan politik kekuasaan,” tegasnya. Hanafie menegaskan, jika pun pihaknya berada di luar pemerintahan, itu bukan berarti memusuhi pemerintah.
Wacana pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden secara konstitusional telah diatur secara tegas dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran hukum, antara lain berupa pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa prosedur pemakzulan tidak dapat ditempuh secara sewenang-wenang, melainkan harus melalui pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan ketentuan konstitusi.
Menanggapi hal ini, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, menilai bahwa wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan konstitusional yang ketat. Menurut Yance, pendekatan hukum yang sahih justru harus dimulai dari DPR melalui pembentukan panitia angket atau lewat gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar pencalonan yang dianggap tidak sah. Kedua jalur ini memungkinkan terbukanya ruang pembuktian atas dugaan manipulasi dan pelanggaran syarat usia dalam pencalonan Gibran.
“Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional. Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik,” terangnya. Artinya, di tengah riuhnya opini publik, proses pemakzulan hanya sah jika berangkat dari fondasi hukum yang kokoh, bukan sekadar gelombang ketidakpuasan politik. (HDS)