RATASTV – Peredaran narkoba di Indonesia terus menjadi ancaman serius, terutama bagi generasi muda. Selain merusak kesehatan dan struktur sosial, maraknya penyalahgunaan narkotika juga berdampak langsung pada meningkatnya angka kriminalitas dan menurunnya produktivitas nasional.
Direktur Eksekutif Etos Indonesia Institut, Iskandarsyah, menilai bahwa masalah narkoba bukan lagi sekadar perkara hukum, melainkan sudah masuk dalam fase darurat nasional. Ia bahkan menduga, jaringan peredaran narkoba telah menyusup ke berbagai institusi, termasuk aparat penegak hukum.
“Ketika rakyat terjerat, tidak ada kompromi. Sulit dibedakan mana pemakai, kurir, atau bandar—semuanya dipukul rata, dan sering kali berujung pada transaksi gelap,” tegas Iskandar dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (1/7/2025).
Menurutnya, penyelesaian masalah narkoba mustahil dilakukan jika aparat penegaknya sendiri tidak bersih. “Tak mungkin membersihkan sesuatu dengan sapu yang kotor,” katanya lugas.
Iskandar berharap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memberi perhatian lebih terhadap upaya pemberantasan narkoba, termasuk menertibkan institusi-institusi yang terindikasi terlibat atau kecolongan dalam pengawasan.
“Penanganan narkoba harus dilakukan oleh aparat hukum yang benar-benar bersih hati nuraninya—bukan mereka yang justru memanfaatkan kasus untuk keuntungan pribadi,” tambahnya.
Dugaan Keterlibatan Oknum dan Seruan Reformasi Polri
Iskandar menyinggung kasus Irjen Pol Teddy Minahasa sebagai bukti nyata bahwa penyalahgunaan narkoba telah merambah hingga lingkaran kepolisian. Ia bahkan menyebut kemungkinan adanya lebih banyak oknum serupa.
“Kalau narkoba masuk dalam jumlah kilogram, mungkin hanya ulah bandar. Tapi kalau berton-ton, artinya ada sistem besar yang bekerja dan harus diungkap,” ujarnya.
Karena itu, Etos Indonesia mendorong penyegaran kepemimpinan di tubuh Polri, termasuk mencopot Kapolri dan menggantikannya dengan figur yang memiliki integritas dan keberanian untuk membenahi institusi dari dalam.
Memperingati HUT ke-79 Polri, Iskandarsyah menyayangkan bahwa momen bersejarah tersebut hanya diwarnai dengan kegiatan seremonial, tanpa refleksi mendalam atas berbagai persoalan yang menumpuk di tubuh institusi.
“Publik saat ini tidak butuh retorika dan pencitraan. Masyarakat sudah cerdas, dan media sosial membongkar semuanya. Wajah Polri tak lagi bisa dipoles hanya lewat konten-konten manis,” ucapnya.
Ia mengajak Polri menjadikan HUT Bhayangkara sebagai momentum introspeksi total. “Sudah waktunya mengevaluasi diri secara menyeluruh. Jadikan ini bukan sekadar upacara tahunan, tapi titik balik perbaikan nyata,” tegasnya.
Iskandar juga menyoroti perbandingan antara Polri dan TNI. Ia menyebut TNI lebih cepat berbenah pasca-reformasi, meskipun sempat terjerat isu Dwifungsi ABRI selama lebih dari tiga dekade.
“TNI mengalami masa sulit selama 32 tahun, tapi setelah reformasi mereka berbenah cepat. Sebaliknya, Polri justru sibuk merias diri. Coba lihat, pemberitaan Polri di media sangat timpang dibanding institusi lain—banyak yang hanya pencitraan, minim substansi,” pungkasnya.
Etos Indonesia berharap reformasi menyeluruh dalam tubuh Polri segera dilakukan, agar institusi ini benar-benar menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan malah menjadi bagian dari masalah yang harus diberantas. (HDS)