Makna dan Tradisi Malam 1 Suro dalam Budaya Jawa
Ratas,- Budaya Jawa dikenal kaya akan tradisi yang tetap lestari hingga kini, meskipun zaman telah memasuki era modern. Salah satu tradisi yang masih dijaga dengan khidmat adalah peringatan malam satu Suro, yang diperingati setiap awal bulan pertama dalam penanggalan Jawa.
Malam satu Suro bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriyah, yang juga merupakan awal tahun baru Islam. Tahun ini, malam satu Suro jatuh pada 28 Juni 2025. Dalam kalender Jawa, sistem penanggalan ini pertama kali diperkenalkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram pada tahun 1940 Jawa (sekitar 1633 Masehi), dengan mengadopsi sistem Hijriyah namun tetap mempertahankan unsur lokal Jawa.
Sakralitas Malam Satu Suro
Bagi masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, malam satu Suro dianggap malam yang sakral. Ini bukan sekadar pergantian tahun, tetapi momentum spiritual untuk introspeksi, pembersihan diri, dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak kepercayaan dan ritual dilakukan pada malam ini, seperti ziarah ke makam leluhur, tirakat, tapa bisu (tidak berbicara sepanjang malam), hingga larung sesaji atau melempar persembahan ke laut sebagai bentuk sedekah dan penghormatan kepada alam.
Di beberapa daerah, warga percaya bahwa mandi di sumber air tertentu seperti di wilayah Nganjuk pada malam ini dapat membawa keberkahan, awet muda, dan panjang umur.
Sejarah Kalender Jawa dan Malam Suro
Asal-usul malam satu Suro berakar dari penyesuaian kalender Hijriyah ke sistem penanggalan Jawa pada masa Sultan Agung. Sultan Agung menciptakan kalender Jawa dengan tujuan menyatukan kelompok Santri dan Abangan, serta menyatukan semangat perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda.
Dalam sejarahnya, Sultan Agung menetapkan 1 Suro bertepatan dengan 1 Muharram yang jatuh pada hari Jumat Legi, sebuah hari yang diyakini membawa keberkahan. Oleh karenanya, malam satu Suro tidak digunakan untuk kegiatan yang bersifat duniawi, melainkan lebih banyak digunakan untuk kegiatan religius seperti ngaji, haji, atau ziarah.
Ragam Tradisi Malam Satu Suro
Perayaan malam satu Suro memiliki kekhasan di tiap daerah. Di Solo, tradisi ini ditandai dengan Kirab Kebo Bule Kyai Slamet, seekor kerbau berwarna putih yang dianggap keramat oleh masyarakat dan merupakan bagian dari pusaka Keraton Kasunanan Surakarta.
Sementara itu, di Yogyakarta, prosesi malam satu Suro diramaikan dengan kirab pusaka seperti keris dan benda-benda warisan keraton. Pusaka-pusaka ini dikirab keliling pelataran keraton dalam suasana hening dan penuh khidmat.
Selain itu, tradisi tapa bisu juga umum dilakukan, di mana para peserta kirab tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang prosesi sebagai simbol perenungan dan pembersihan batin menjelang tahun yang baru.
Makna Filosofis
Malam satu Suro bukan sekadar perayaan, tetapi menjadi momentum spiritual untuk introspeksi diri, memohon perlindungan Tuhan, serta memperkuat hubungan batin dengan leluhur dan alam. Melalui berbagai ritual dan laku spiritual, masyarakat Jawa berharap mendapatkan keberkahan dan terhindar dari marabahaya sepanjang tahun mendatang.
Tradisi ini memperlihatkan bagaimana nilai-nilai luhur Jawa seperti keselarasan, ketenangan batin, dan spiritualitas tetap dijaga meskipun zaman terus berubah.