banner

Penggusuran Warga Roxy Ciputat, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

Senin, 23 Juni 2025 15:32 WIB
Oleh: Diaz
IMG_20250623_153822

Penggusuran Warga Roxy Ciputat, Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

RATAS – Suasana haru dan ketegangan menyelimuti kawasan Roxy, Ciputat, pada Senin (23/6/2025). Puluhan aparat keamanan dari TNI, Polri, Satpol PP, dan Dinas Perhubungan Kota Tangerang Selatan dikerahkan untuk mengamankan proses penertiban sejumlah rumah, kios, dan warung milik warga yang berdiri di atas lahan milik Pemerintah Kota Tangerang Selatan.

Penggusuran ini menimpa puluhan kepala keluarga yang telah menempati area bekas terminal tersebut selama bertahun-tahun. Meski sadar bahwa tanah itu milik negara, warga mengaku kecewa atas cara penertiban yang dianggap tidak berempati dan tanpa solusi kemanusiaan.

“Sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” ujar seorang warga kepada wartawan. Ia mengaku kecewa karena di tengah keterpurukan, justru ada oknum yang meminta uang hingga Rp500 ribu per kepala keluarga dengan dalih “membela warga”. “Miris, kami sudah salah, tapi kenapa harus ditambah susah begini?” katanya.

Pemerintah Kota Tangsel menegaskan bahwa tidak akan memberikan kompensasi dalam penggusuran tersebut. Wakil Wali Kota Tangsel Pilar Saga Ichsan menyatakan bahwa tidak ada kewajiban pemerintah memberi ganti rugi atas lahan yang memang merupakan aset negara.

“Tidak ada kompensasi dalam penggusuran ini,” tegas Pilar.

Pernyataan tersebut langsung menuai reaksi dari warga. Mereka merasa bahwa meskipun status hukum tanah tidak mereka miliki, proses penggusuran seharusnya tetap dilakukan dengan pendekatan yang manusiawi.

Ketua Paguyuban Warga Roxy, Stefanus Tarigan, menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap cara pemerintah menangani relokasi. Menurutnya, warga tidak mempersoalkan penggusuran, namun cara penanganannya sangat menyakitkan.

“Kami tahu tanah ini milik Pemda, dan saat Pemda butuh, kami siap pergi. Tapi tolonglah kami dimanusiakan. Ini kesannya kami diperlakukan seperti hewan. Main bongkar begitu saja,” ujar Stefanus.

Warga sempat mengajukan permintaan penundaan selama seminggu agar dapat membongkar bangunan secara mandiri. Namun pemerintah hanya memberikan waktu lima hari. Bahkan, menurut informasi dari warga, ada seorang anggota legislatif perempuan yang sempat memberi ultimatum tiga hari saja.

“Kami hanya minta waktu, bukan minta dimanjakan. Bahkan untuk bongkar bangunan sendiri kami harus cari uang dulu. Kami benar-benar enggak punya,” lanjut Stefanus dengan suara bergetar.

Warga mengaku telah menempati kawasan ini lebih dari delapan tahun. Saat pertama kali datang, lokasi bekas terminal itu merupakan “lahan mati” yang tidak dimanfaatkan oleh pemerintah. Namun seiring waktu, area ini tumbuh menjadi kawasan pemukiman lengkap dengan aktivitas ekonomi kecil, mulai dari warung, usaha rumahan, hingga hiburan rakyat.

Bagi warga, penggusuran ini bukan sekadar kehilangan tempat tinggal, tapi juga kehilangan seluruh tumpuan hidup. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja informal yang menggantungkan hidup dari aktivitas di lokasi tersebut.

Meski aparat menjaga proses berjalan kondusif, luka sosial yang ditinggalkan dari penertiban ini terasa dalam. Sorotan publik pun tertuju pada pentingnya pendekatan sosial yang lebih bijak dan manusiawi dalam setiap proses penataan kota, terlebih ketika menyangkut nasib warga kecil.

Berita Terkait
Mungkin anda suka
WhatsApp Image 2025-07-16 at 12.31.43
Terpopuler
RUPA COWORKING_COMPANY PROFILE_page-0001
Terbaru
Tagar Populer
Pengunjung